3 Alat Bukti Yang Digunakan Untuk Membuktikan Perbuatan Zina: Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Huda Nuri

3 Alat Bukti Yang Digunakan Untuk Membuktikan Perbuatan Zina: Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia
3 Alat Bukti Yang Digunakan Untuk Membuktikan Perbuatan Zina: Perbedaan antara Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia

Apa saja tiga alat yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan zina?

Ketika membicarakan mengenai tindak pidana menuduh zina (qadzaf), kita harus memahami bahwa Perbedaan pembuktian hukum Islam dan hukum positif dalam tindak pidana menuduh zina sangatlah berbeda. Dalam hukum Islam, tindak pidana ini dibuktikan dengan menggunakan tiga alat bukti yaitu saksi, pengakuan, dan sumpah. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia, hukuman bagi pelaku tindak pidana zina dibuktikan dengan menggunakan seperti saksi, saksi ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Tiga alat bukti yang digunakan dalam hukum Islam, saksi, pengakuan, dan sumpah, memiliki kekuatan pembuktian yang sama jika memenuhi syarat-syarat pembuktian. Pada prinsipnya, kekuatan pembuktian yang diakui oleh hukum Islam lebih kuat dibandingkan dengan hukum positif Indonesia. Sebab, dalam hukum Islam menghendaki adanya minimal dua orang saksi yang mendapat kesaksian secara langsung atau tidak langsung.

Namun tentunya alat bukti seperti saksi dan pengakuan bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan. Dalam praktik pelaksanaannya, penggunaan alat bukti dalam hukum Islam seringkali mengalami kesulitan. Hal ini karena dapat timbul kesan adanya kemungkinan melakukan kebohongan yang dilakukan oleh saksi maupun terdakwa. Sebab itu, dalam pembuktian hukum Islam, harus memenuhi beberapa kriteria, seperti kesaksian harus datang dari orang yang terpercaya, dapat dipertanggungjawabkan, dan tidak dikarang-karang.

Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia, pembuktian tindak pidana zina dilakukan dengan menggunakan saksi, saksi ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti seperti saksi dan saksi ahli diwajibkan oleh hukum pidana, namun dalam hal surat petunjuk dan keterangan terdakwa bersifat sukarela.

BACA JUGA:   Zina Al-Laman, Muhsan, dan Gairu Muhsan: Jenis-jenis Zina yang Harus Diketahui

Secara teori, alat bukti dalam hukum positif Indonesia terbilang lebih mudah daripada dalam hukum Islam. Namun di dalam negara kita seringkali terjadi kecacatan dalam proses pengumpulan alat bukti. Oleh karena itu, hukum akhirnya juga menggunakan saksi dan keterangan terdakwa untuk menjadi alat bukti yang kuat dalam membuktikan suatu tindak pidana.

Demikianlah pembahasan mengenai tiga alat pembuktian dalam kasus tindak pidana zina. Penentuan alat bukti yang tepat dalam kasus ini sangatlah penting karena menyangkut kebenaran suatu perkara. Saksi, pengakuan, sumpah, saksi ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa memiliki kekuatan pembuktian yang berbeda-beda tergantung dengan kondisi konkritnya.

Untuk itu, dalam membuktikan suatu tindak pidana zina, diperlukan kecermatan dan ketelitian dari pihak yang berwenang. Dalam upaya meminimalisir kesalahan dalam pengambilan tindakan hukum, terdapat beberapa prinsip hukum yang tidak boleh dilanggar di antaranya adanya prinsip kepastian hukum dan prinsip- prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.

Namun, kepastian hukum tidak bisa diterapkan dengan mudah di dalam praktek pelaksanaannya. Sebab, kepastian hukum erat kaitannya dengan penentuan fakta dan kebenaran suatu perkara. Oleh karena itu, sumber-sumber yang dapat memberikan bukti harus digunakan sebijaksana mungkin. Dalam rangka meminimalisir kesalahan dalam pengambilan tindakan hukum, harus memperhatikan aspek pembuktian hukum yang digunakan.

Simpulan

Dalam pembuktian tindak pidana zina, ada tiga alat bukti yang digunakan yaitu saksi, pengakuan, dan sumpah dalam hukum Islam. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia, pembuktian dilakukan dengan menggunakan saksi, saksi ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Dalam praktiknya, penggunaan alat bukti dalam pembuktian tindak pidana zina seringkali mengalami kesulitan dan harus memenuhi beberapa kriteria. Untuk itu, dalam membuktikan suatu tindak pidana zina, diperlukan kecermatan dan ketelitian dari pihak yang berwenang. Sebelum mengambil tindakan hukum, prinsip kepastian hukum dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia harus diperhatikan untuk memastikan kebenaran suatu perkara.

Also Read

Bagikan:

Tags