Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa "riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan seperti zina dengan ibu kandung" telah menjadi rujukan utama dalam memahami larangan riba dalam Islam. Ungkapan "tujuh puluh tiga pintu" ini bukan sekadar angka metaforis, melainkan menggambarkan betapa luas dan beragamnya bentuk riba yang dilarang. Angka 73 sendiri bisa diartikan sebagai representasi dari banyaknya variasi dan bentuk transaksi yang tergolong riba, yang sulit untuk dirinci satu per satu. Lebih daripada itu, ia menyiratkan betapa seriusnya larangan riba dan betapa beragamnya cara ia dapat muncul dalam kehidupan ekonomi modern. Artikel ini akan membahas berbagai interpretasi dan konteks dari hadits tersebut, serta menelusuri beberapa contoh praktik yang termasuk dalam "pintu-pintu riba" tersebut.
Riba dalam Al-Quran dan Hadits: Landasan Hukum yang Tegas
Sebelum membahas "tujuh puluh tiga pintu riba," penting untuk memahami dasar hukum riba dalam Islam. Al-Quran secara tegas melarang riba dalam beberapa ayat, misalnya Surah Al-Baqarah ayat 275: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu, karena mereka berkata, "Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba," padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang telah datang kepadanya suatu pelajaran dari Tuhannya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah lalu (tidak dipersoalkan lagi), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa kembali lagi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka; ia kekal di dalamnya." Ayat ini jelas menunjukkan keharaman riba dan konsekuensi yang berat bagi pelakunya.
Hadits Nabi SAW pun banyak menguatkan larangan tersebut, bahkan dengan berbagai contoh dan penjelasan yang lebih detail. Hadits yang menyebutkan "tujuh puluh tiga pintu riba" adalah salah satu dari banyak hadits yang menggambarkan betapa luasnya cakupan larangan ini. Hadits lainnya menjelaskan berbagai bentuk riba, seperti riba fadhl (riba kelebihan), riba nasi’ah (riba tempo), dan riba jahiliyyah (riba zaman jahiliyyah). Semua hadits ini memberikan gambaran yang komprehensif mengenai larangan riba dan berbagai bentuk manifestasinya. Memahami konteks sejarah dan budaya saat hadits tersebut disampaikan penting untuk memahami interpretasinya dalam konteks modern.
Riba Fadhl: Kelebihan dalam Transaksi Tukar Menukar Barang Sejenis
Salah satu bentuk riba yang umum dibahas adalah riba fadhl. Riba fadhl terjadi ketika seseorang menukar barang sejenis dengan jumlah yang berbeda, dengan syarat barang yang diterima lebih banyak dari yang diberikan. Misalnya, menukar 1 kg beras dengan 1,1 kg beras meskipun kualitas dan jenisnya sama. Meskipun terlihat sederhana, transaksi seperti ini termasuk riba karena mengandung unsur eksploitasi dan ketidakadilan. Perbedaan jumlah tersebut dianggap sebagai tambahan yang tidak sah, yang tidak dibenarkan dalam prinsip keadilan Islam. Perbedaan ini bahkan dapat terselubung dalam perbedaan kualitas yang dibuat-buat atau harga pasar yang sengaja di manipulasi. Oleh karena itu, dalam transaksi jual beli barang sejenis haruslah dengan jumlah dan kualitas yang sama, tanpa adanya kelebihan atau kekurangan yang disengaja.
Riba Nasi’ah: Riba yang Berkaitan dengan Tempo
Riba nasi’ah merupakan riba yang terjadi karena perbedaan jumlah yang disepakati pada transaksi dengan tenggat waktu tertentu. Misalnya, seseorang meminjam uang dengan jumlah tertentu dan berjanji untuk mengembalikannya dengan jumlah yang lebih besar di kemudian hari. Perbedaan jumlah ini, yang merupakan tambahan atas pokok pinjaman, merupakan riba nasi’ah. Bentuk riba ini seringkali terselubung dalam berbagai jenis pinjaman dengan bunga, baik itu pinjaman perbankan konvensional maupun pinjaman online. Keberadaan bunga dalam pinjaman merupakan contoh nyata dari riba nasi’ah yang dilarang dalam Islam.
Riba Jahiliyyah: Praktik Riba Sebelum Islam
Riba jahiliyyah merujuk pada praktik riba yang dilakukan sebelum datangnya Islam. Bentuk riba ini lebih kompleks dan beragam, seringkali melibatkan manipulasi harga, eksploitasi, dan ketidakadilan yang sistematis. Meskipun praktik ini sudah tidak lazim dalam bentuk aslinya, namun spiritnya masih bisa ditemukan dalam berbagai praktik ekonomi modern yang eksploitatif dan tidak adil. Memahami riba jahiliyyah membantu kita untuk melihat akar permasalahan riba dan mencegah munculnya praktik-praktik serupa dalam bentuk yang terselubung.
Interpretasi "73 Pintu Riba" dalam Konteks Modern
Interpretasi "73 pintu riba" tidak terbatas pada penafsiran literal. Angka tersebut lebih berfungsi sebagai representasi dari kompleksitas dan keragaman bentuk riba. Di era modern, dengan perkembangan sistem keuangan yang semakin kompleks, bentuk-bentuk riba dapat muncul dalam berbagai transaksi keuangan yang rumit, seperti derivatif, swap, dan berbagai instrumen keuangan lainnya. Oleh karena itu, memahami spirit hadits tersebut, yaitu larangan eksploitasi dan ketidakadilan dalam transaksi ekonomi, menjadi lebih penting daripada sekadar menafsirkan angka 73 secara harfiah. Para ulama terus berupaya untuk mengkaji dan memberikan fatwa terhadap berbagai produk dan transaksi keuangan modern untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah dan menghindari riba dalam berbagai bentuknya.
Menghindari Riba: Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Menerapkan prinsip menghindari riba dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan kehati-hatian dan pemahaman yang mendalam. Hal ini melibatkan tidak hanya menghindari transaksi yang jelas-jelas riba, tetapi juga menghindari transaksi yang berpotensi mengandung unsur riba. Konsumen perlu waspada terhadap berbagai tawaran pinjaman dengan bunga, kartu kredit dengan bunga tinggi, dan investasi yang mengandung unsur ketidakpastian dan spekulasi yang tinggi. Penting untuk selalu memeriksa detail transaksi, memastikan keadilan dan transparansi, dan menghindari setiap bentuk eksploitasi. Penerapan prinsip-prinsip ekonomi Islam, seperti jual beli yang adil, pembiayaan tanpa riba (seperti mudharabah dan musyarakah), serta zakat dan infak, merupakan solusi alternatif untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkelanjutan, adil, dan bebas dari riba. Perlu juga adanya peningkatan literasi keuangan syariah di masyarakat agar masyarakat dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.