Bank konvensional, pilar utama sistem keuangan global, seringkali menjadi subjek perdebatan sengit dalam konteks ajaran Islam. Perdebatan ini terutama berpusat pada isu riba, atau bunga, yang secara tegas dilarang dalam Al-Quran dan hadits. Meskipun banyak bank konvensional menawarkan produk dan layanan yang tampak Islami, pertanyaan mendasar tentang kesesuaian keseluruhan operasi mereka dengan prinsip-prinsip syariah tetap menjadi pertimbangan penting bagi umat Muslim. Artikel ini akan menjabarkan secara detail berbagai aspek yang menjadikan sebagian besar praktik bank konvensional haram dalam pandangan Islam, melampaui hanya isu riba.
Riba: Inti Permasalahan dalam Bank Konvensional
Riba, dalam konteks ekonomi Islam, merujuk pada penambahan nilai atau keuntungan yang diperoleh secara tidak adil melalui transaksi keuangan. Ini berbeda dengan keuntungan yang diperoleh melalui usaha, keahlian, atau risiko bisnis yang sah. Dalam Al-Quran, riba dikategorikan sebagai sesuatu yang haram secara eksplisit dalam beberapa ayat, seperti Surah Al-Baqarah ayat 275-278 yang menjelaskan tentang larangan riba dan ancaman bagi mereka yang mempraktikkannya. Ayat-ayat ini secara tegas melarang penambahan nilai pada pinjaman (riba al-nasiah) maupun perbedaan nilai jual beli yang bersifat spekulatif (riba al-fadhl).
Praktik riba dalam bank konvensional sangat jelas terlihat pada sistem bunga yang diterapkan pada berbagai produk, termasuk pinjaman, kartu kredit, dan deposito berjangka. Bunga ini merupakan tambahan nilai yang diperoleh bank tanpa memberikan kontribusi nyata pada peningkatan nilai aset atau usaha nasabah. Justru sebaliknya, bunga seringkali menambah beban keuangan nasabah dan menciptakan siklus hutang yang sulit diputus. Bahkan, bunga yang "tersembunyi" dalam berbagai biaya administrasi, biaya provisi, dan biaya lainnya, juga termasuk dalam kategori riba menurut sebagian besar ulama. Hal ini karena inti dari riba adalah adanya unsur penambahan nilai secara tidak adil yang dibebankan kepada peminjam.
Gharar (Ketidakpastian) dalam Produk Keuangan Konvensional
Selain riba, konsep gharar (ketidakpastian) juga menjadi pertimbangan penting dalam menentukan kehalalan produk dan layanan perbankan konvensional. Gharar merujuk pada ketidakpastian atau risiko yang berlebihan dalam suatu transaksi yang dapat menyebabkan kerugian bagi salah satu pihak. Transaksi yang mengandung gharar yang tinggi dianggap haram dalam Islam karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejelasan dalam bertransaksi.
Banyak produk keuangan konvensional, seperti derivatif dan instrumen keuangan kompleks lainnya, mengandung unsur gharar yang signifikan. Kompleksitas instrumen tersebut seringkali membuat sulit untuk memprediksi hasil akhir transaksi, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan potensi kerugian bagi nasabah. Contohnya, spekulasi dalam pasar saham dan mata uang asing mengandung unsur gharar yang tinggi karena nilai aset tersebut dapat berubah secara drastis dalam waktu singkat. Hal ini membuat sulit untuk memastikan keuntungan yang akan diperoleh, dan potensi kerugian menjadi sangat besar.
Maisir (Judi) dalam Beberapa Mekanisme Perbankan
Konsep maisir (judi) juga dapat ditemukan dalam beberapa aspek operasional bank konvensional. Maisir merujuk pada aktivitas yang melibatkan unsur keberuntungan atau kesempatan semata, tanpa disertai usaha atau keahlian yang nyata. Dalam konteks perbankan, aktivitas spekulatif yang dilakukan oleh bank atau yang difasilitasi oleh bank, seperti perdagangan derivatif yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata dari fluktuasi harga aset, dapat dikategorikan sebagai maisir.
Meskipun mungkin tidak semua aktivitas bank konvensional termasuk kategori maisir, namun praktik tersebut tetap menimbulkan kekhawatiran dari sudut pandang syariah. Keuntungan yang diperoleh melalui maisir dianggap haram karena tidak didasari oleh usaha atau keahlian, melainkan hanya mengandalkan keberuntungan semata. Hal ini bertentangan dengan prinsip kerja keras dan usaha yang dianjurkan dalam Islam.
Keterlibatan dalam Bisnis Haram
Bank konvensional seringkali terlibat dalam pembiayaan bisnis yang haram. Misalnya, bank mungkin memberikan pinjaman kepada perusahaan yang memproduksi barang haram seperti minuman keras, babi, atau produk yang mengandung unsur riba lainnya. Dalam pandangan Islam, memberikan dana atau fasilitas untuk kegiatan haram dianggap sebagai bentuk dukungan dan ikut serta dalam kemaksiatan, yang juga merupakan tindakan haram. Oleh karena itu, meskipun secara langsung bank tidak terlibat dalam pembuatan produk haram, tetapi dengan memberikan pembiayaan, secara tidak langsung bank telah berperan dalam memperluas bisnis tersebut.
Partisipasi dalam pembiayaan sektor-sektor seperti perjudian, industri pornografi, dan lembaga keuangan yang terkait dengan riba, menjadi poin penting lain yang menjadikan bank konvensional tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Umat Muslim harus berhati-hati dalam memilih bank atau institusi keuangan yang menghindari terlibat dalam pembiayaan kegiatan haram tersebut.
Sistem Bunga dan Ketidakadilan Sosial
Sistem bunga dalam bank konvensional juga kerap dikritik karena menciptakan ketidakadilan sosial. Suku bunga yang tinggi dapat membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, terutama bagi mereka yang membutuhkan pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pokok atau memulai usaha kecil. Siklus hutang yang tercipta karena bunga yang tinggi dapat memperparah kemiskinan dan memperlebar jurang antara kaya dan miskin. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sosial yang ditekankan dalam ajaran Islam. Sistem ini cenderung memperkuat dominasi ekonomi oleh segelintir orang atau kelompok yang bermodal besar dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Kekurangan Transparansi dan Akuntabilitas
Terakhir, kekurangan transparansi dan akuntabilitas dalam beberapa praktik perbankan konvensional juga menimbulkan pertanyaan tentang kesesuaiannya dengan syariah. Kompleksitas produk keuangan dan kurangnya informasi yang jelas bagi nasabah seringkali membuat sulit untuk menilai risiko dan potensi kerugian yang terlibat. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi nasabah, terutama bagi mereka yang kurang memahami seluk beluk transaksi keuangan. Ketidakjelasan ini bertentangan dengan prinsip keadilan, kejujuran dan transparansi yang dianut dalam Islam dalam semua bentuk transaksi. Kurangnya akuntabilitas juga memungkinkan terjadinya praktek manipulasi dan penipuan yang merugikan nasabah.