Riba, dalam terminologi Islam, merupakan praktik pengambilan keuntungan (faedah) yang bersifat eksploitatif dan terlarang. Larangan riba merupakan pilar penting dalam syariat Islam, yang bertujuan untuk menjaga keadilan sosial dan mencegah eksploitasi ekonomi. Namun, pemahaman dan pengelompokan riba di antara para ulama fiqih mengalami perbedaan, berdasarkan perbedaan madzhab, pendapat ulama, serta konteks transaksi yang terjadi. Artikel ini akan membahas pengelompokan riba menurut para ulama fiqih secara detail, dengan merujuk pada berbagai sumber dan literatur keislaman.
1. Riba Al-Fadl (Riba karena Selisih Kualitas)
Riba al-fadhl merujuk pada riba yang terjadi akibat pertukaran barang sejenis dengan jumlah yang tidak sama. Sebagai contoh, pertukaran satu kilogram emas dengan satu setengah kilogram emas, atau satu liter susu sapi dengan dua liter susu sapi. Dalam transaksi ini, terdapat kelebihan (fadhl) yang diambil secara sepihak tanpa adanya dasar yang syar’i. Ulama sepakat mengharamkan riba al-fadhl karena mengandung unsur ketidakadilan dan eksploitasi. Perbedaan pendapat hanya muncul pada penentuan barang yang termasuk dalam kategori sejenis yang dapat menimbulkan riba al-fadhl. Beberapa ulama berpendapat hanya barang yang sejenis dan sama kualitasnya yang termasuk, sementara lainnya memperluas definisi ini meliputi barang yang memiliki sifat dasar yang sama, meskipun terdapat sedikit perbedaan kualitas. Contohnya adalah gandum dengan kualitas berbeda. Mayoritas ulama berpendapat bahwa transaksi tersebut termasuk riba al-fadhl jika terdapat perbedaan jumlah dan kualitas.
2. Riba An-Nasi’ah (Riba karena Penundaan Waktu)
Riba an-nasi’ah merupakan riba yang terjadi karena adanya penundaan waktu pembayaran dalam transaksi jual beli. Pada riba an-nasi’ah, pihak yang berhutang harus membayar lebih dari jumlah yang dipinjam atau yang disepakati pada waktu jatuh tempo. Bentuknya bisa berupa tambahan sejumlah uang atau barang, atau bisa juga berupa perbedaan nilai tukar yang disepakati di awal dan saat pelunasan. Jenis riba ini lebih kompleks dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat terutama terletak pada penentuan jenis transaksi yang termasuk dalam kategori riba an-nasi’ah. Beberapa ulama mengarahkan fokus pada transaksi pinjaman uang (qardh) dengan tambahan bunga, sementara lainnya memperluas jangkauannya hingga meliputi transaksi jual beli yang melibatkan penundaan pembayaran dengan persyaratan tambahan. Contohnya adalah pertukaran uang dengan uang yang sama dengan jumlah lebih besar pada waktu jatuh tempo. Konsep ini menekankan pada elemen waktu sebagai faktor penentu adanya riba.
3. Pembagian Riba Berdasarkan Jenis Mata Uang
Beberapa ulama membagi riba berdasarkan jenis mata uang yang dipertukarkan. Misalnya, pertukaran antara uang (dirham/dinar) dengan emas atau perak. Dalam konteks ini, riba bisa terjadi jika terdapat selisih jumlah atau penundaan waktu pembayaran. Pengelompokan ini sering dikaitkan dengan konsep "mata uang standar" pada masa Nabi SAW, yaitu dirham dan dinar. Perdebatan muncul seiring perkembangan zaman dan munculnya mata uang modern. Beberapa ulama menerapkan prinsip analogi (qiyas) untuk menetapkan hukum riba pada mata uang modern, sementara yang lain menekankan pada esensi riba yaitu eksploitasi dan ketidakadilan. Oleh karena itu, pengelompokan ini lebih menekankan pada konteks historis dan perkembangan interpretasi fiqih terhadap transaksi keuangan.
4. Riba dalam Transaksi Jual Beli (Bay’ al-Dayn)
Bay’ al-dayn (jual beli hutang) merupakan salah satu bentuk riba yang sering diperdebatkan. Transaksi ini terjadi ketika seseorang menjual hutang kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah dari nominal hutang tersebut. Ulama mayoritas mengharamkan transaksi ini karena mengandung unsur riba an-nasi’ah, dimana terdapat penundaan pembayaran dan pengambilan keuntungan yang tidak adil. Namun, perbedaan pendapat muncul terkait dengan kondisi tertentu, misalnya jika penjual hutang benar-benar membutuhkan uang secara mendesak. Disini terdapat pertimbangan maslahah (kepentingan umum) yang harus dipertimbangkan. Oleh karena itu, analisis terhadap transaksi Bay’ al-dayn memerlukan kajian yang mendalam terhadap konteks dan kondisi yang menyertainya.
5. Riba dalam Transaksi Pinjaman (Qardh)
Transaksi pinjaman (qardh) merupakan transaksi yang sangat rentan terhadap riba. Riba dalam konteks qardh muncul ketika peminjam diwajibkan membayar lebih dari jumlah yang dipinjam. Ulama sepakat mengharamkan riba dalam transaksi qardh, karena hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan persaudaraan. Namun, perbedaan pendapat muncul dalam penentuan bentuk-bentuk riba dalam qardh. Beberapa ulama menekankan pada penambahan bunga sebagai bentuk riba, sementara lainnya memperluas pengertian riba hingga meliputi persyaratan tambahan yang memberikan keuntungan sepihak kepada pemberi pinjaman.
6. Perkembangan Fatwa dan Ijtihad Kontemporer mengenai Riba
Dengan perkembangan zaman dan munculnya berbagai instrumen keuangan modern, penggunaan fatwa dan ijtihad kontemporer menjadi sangat penting dalam menentukan hukum riba. Ulama kontemporer terus berupaya untuk memberikan penjelasan dan fatwa yang relevan dengan perkembangan ekonomi global, sambil tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar syariat Islam. Beberapa lembaga keuangan syariah telah mengembangkan produk-produk keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, dengan menghindari praktik riba. Namun, perdebatan dan perbedaan pendapat tetap ada, karena interpretasi terhadap teks-teks agama dan kondisi ekonomi dapat berbeda. Oleh karena itu, kajian terhadap fatwa-fatwa kontemporer menjadi penting untuk memahami perkembangan pemahaman riba dalam Islam saat ini. Studi komparatif terhadap fatwa dari berbagai lembaga dan ulama menjadi penting untuk menemukan titik temu yang selaras dengan perkembangan ekonomi dan tetap sesuai dengan syariat.