Riba, dalam ajaran Islam, merupakan praktik pengambilan keuntungan yang berlebihan atau tidak adil dalam transaksi keuangan, khususnya pinjaman atau utang piutang. Keharaman riba ditegaskan secara tegas dalam Al-Quran dan Hadits, dan bukan tanpa alasan. Larangan ini dilandasi oleh pemahaman yang mendalam mengenai dampak negatif riba terhadap berbagai aspek kehidupan, baik individu, masyarakat, maupun perekonomian secara luas. Artikel ini akan membahas secara detail berbagai dampak merusak yang diakibatkan oleh praktik riba, merujuk pada berbagai sumber dan kajian terkait.
1. Kezaliman dan Ketidakadilan Sosial
Salah satu dampak paling mendasar dari riba adalah terciptanya kezaliman dan ketidakadilan sosial. Praktik riba memungkinkan pihak pemberi pinjaman untuk memperoleh keuntungan yang tidak proporsional, bahkan secara eksploitatif, dari pihak peminjam yang tengah dalam kesulitan. Pihak peminjam, yang seringkali dalam kondisi ekonomi lemah, dipaksa untuk membayar bunga yang tinggi, melebihi kemampuan finansialnya. Hal ini menyebabkan mereka terjebak dalam siklus hutang yang tak berujung, semakin memperparah kemiskinan dan ketidakadilan.
Studi-studi empiris di berbagai negara menunjukkan korelasi antara tingginya tingkat bunga pinjaman dan peningkatan angka kemiskinan. Banyak individu dan keluarga yang harus mengorbankan kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan hanya untuk membayar bunga pinjaman. Ketidakadilan ini semakin diperparah jika praktik riba dilakukan secara sistemik oleh lembaga keuangan yang besar dan berpengaruh, yang memiliki kuasa untuk menetapkan suku bunga yang tinggi dan merugikan masyarakat luas. Kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin pun semakin melebar. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan pada keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan.
2. Kerusakan Ekonomi Makro
Dampak negatif riba tidak hanya terbatas pada individu, tetapi juga berdampak buruk pada perekonomian secara makro. Praktik riba dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan. Tinggi rendahnya suku bunga yang ditetapkan dalam sistem riba secara langsung mempengaruhi investasi dan konsumsi masyarakat. Suku bunga yang tinggi dapat menurunkan investasi karena perusahaan enggan mengambil pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya. Hal ini dapat menghambat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, suku bunga yang rendah pun dapat memicu inflasi dan ketidakstabilan ekonomi. Permintaan kredit yang tinggi akibat suku bunga rendah dapat mendorong peningkatan harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat menurun. Keadaan ini dapat menciptakan siklus ekonomi yang tidak sehat dan rawan terhadap krisis. Sistem ekonomi berbasis riba cenderung menciptakan gelembung ekonomi dan spekulasi yang tidak produktif, berpotensi memicu krisis keuangan seperti yang telah terjadi di berbagai negara di dunia. Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam yang menolak riba menawarkan alternatif yang lebih stabil dan berkelanjutan.
3. Menghancurkan Etika dan Moral
Riba tidak hanya berdampak negatif secara ekonomi, tetapi juga merusak etika dan moral masyarakat. Praktik riba mendorong perilaku serakah, tamak, dan eksploitatif. Pihak pemberi pinjaman termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan tanpa memperhatikan kondisi dan kesulitan pihak peminjam. Hal ini dapat menumbuhkan sikap individualistis dan mengikis rasa solidaritas sosial. Riba menciptakan budaya yang mengutamakan keuntungan materi di atas nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dalam jangka panjang, budaya seperti ini dapat menggerogoti kepercayaan dan solidaritas sosial. Hubungan antar manusia menjadi transaksional dan pragmatis, di mana keuntungan materi menjadi satu-satunya ukuran dalam berinteraksi. Hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah sosial seperti meningkatnya angka kriminalitas, korupsi, dan ketidakpercayaan antar individu. Ajaran Islam mengajarkan untuk menjauhi perilaku yang merusak moral dan etika, dan riba jelas merupakan salah satu contohnya.
4. Menghambat Pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
UMKM merupakan tulang punggung perekonomian di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang. Namun, akses terhadap pembiayaan yang adil dan terjangkau menjadi tantangan besar bagi UMKM. Sistem keuangan konvensional yang berbasis riba seringkali mematok suku bunga yang tinggi, sehingga menyulitkan UMKM untuk mendapatkan pinjaman. Kondisi ini membuat UMKM sulit berkembang dan bahkan dapat menyebabkan kebangkrutan.
Riba menciptakan hambatan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Jika UMKM kesulitan berkembang, maka lapangan kerja yang diciptakan pun akan terbatas. Hal ini memperparah angka pengangguran dan ketidaksetaraan ekonomi. Sistem ekonomi Islam menawarkan alternatif pembiayaan yang lebih adil dan sesuai dengan kebutuhan UMKM, seperti pembiayaan berbasis bagi hasil atau mudharabah, yang menghilangkan unsur riba dan memperhatikan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
5. Menyebabkan Kemiskinan dan Ketimpangan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, riba secara signifikan berkontribusi terhadap kemiskinan dan ketimpangan. Suku bunga yang tinggi dan mekanisme pinjaman yang eksploitatif membuat orang miskin semakin terjerat dalam lingkaran kemiskinan. Mereka terpaksa membayar sebagian besar pendapatannya untuk membayar bunga, sehingga sulit untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Riba memperkuat siklus kemiskinan dan memperlebar jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Ketimpangan ekonomi yang disebabkan oleh riba dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan politik. Ketidakpuasan sosial yang meluas dapat memicu konflik dan kerusuhan. Oleh karena itu, penghapusan riba dan penerapan sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan harmonis. Sistem ekonomi yang berbasis syariah, yang menolak riba, menawarkan jalan keluar untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketimpangan.
6. Menimbulkan Krisis Keuangan dan Ketidakstabilan Ekonomi Global
Praktik riba dalam skala global telah berkontribusi pada terjadinya krisis keuangan dan ketidakstabilan ekonomi. Sistem keuangan yang didasarkan pada riba rentan terhadap spekulasi dan gelembung ekonomi. Ketika gelembung tersebut meletus, dampaknya dapat sangat dahsyat dan menyebabkan krisis ekonomi global. Contohnya adalah krisis keuangan Asia tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008, yang sebagian disebabkan oleh praktik-praktik riba yang tidak terkendali.
Sistem keuangan berbasis riba cenderung mendorong perilaku spekulatif dan pengambilan risiko yang berlebihan. Lembaga keuangan mengejar keuntungan maksimal tanpa memperhatikan risiko yang dihadapi. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan dan berpotensi menimbulkan kerugian yang besar bagi individu, perusahaan, dan negara. Sistem ekonomi Islam yang menghindari riba menawarkan pendekatan yang lebih stabil dan berkelanjutan dalam pengelolaan keuangan. Prinsip kehati-hatian dan keadilan dalam transaksi keuangan dapat membantu mengurangi risiko krisis keuangan dan menciptakan ekonomi yang lebih stabil.