Riba Nasi Ah: Munculnya Karena Faktor Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Dina Yonada

Riba Nasi Ah: Munculnya Karena Faktor Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Riba Nasi Ah: Munculnya Karena Faktor Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Riba, dalam konteks agama Islam, merujuk pada praktik pengambilan keuntungan yang berlebihan atau tidak adil dalam transaksi keuangan. Fenomena "riba nasi ah" yang kini muncul dan menjadi perdebatan, menunjukkan adaptasi praktik riba dalam konteks ekonomi informal yang kompleks. Memahami kemunculannya membutuhkan analisis mendalam dari berbagai faktor ekonomi, sosial, dan budaya yang saling berinteraksi. Artikel ini akan mengurai beberapa faktor tersebut secara detail, didukung oleh informasi dari berbagai sumber daring yang relevan.

1. Lemahnya Akses terhadap Sistem Perbankan Formal

Salah satu faktor utama yang mendorong munculnya riba nasi ah adalah terbatasnya akses masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah atau di daerah pedesaan, terhadap sistem perbankan formal. Bank-bank konvensional seringkali memiliki persyaratan yang rumit, prosedur yang berbelit, dan memerlukan agunan yang sulit dipenuhi oleh sebagian besar populasi. Minimnya literasi keuangan juga menjadi penghalang. Hal ini memaksa mereka untuk mencari alternatif pembiayaan informal, yang sayangnya seringkali mengandung unsur riba.

Sumber-sumber seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan angka penetrasi perbankan yang masih rendah di beberapa wilayah Indonesia. Artikel-artikel jurnal ilmiah juga mengkaji korelasi antara akses keuangan dan kemiskinan, menunjukkan bagaimana keterbatasan akses ke layanan keuangan formal memperburuk kondisi ekonomi masyarakat miskin dan rentan, mendorong mereka pada solusi pembiayaan berisiko tinggi seperti riba nasi ah. Kurangnya infrastruktur teknologi informasi di daerah terpencil juga menjadi faktor penghambat akses terhadap layanan perbankan digital yang lebih mudah dijangkau.

BACA JUGA:   Haramnya Riba: Ancaman dan Dampaknya dalam Perspektif Islam

2. Sistem Sosial dan Budaya Gotong Royong yang Terdistorsi

Sistem sosial dan budaya gotong royong yang selama ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, ironisnya, juga dapat dimanfaatkan untuk praktik riba nasi ah. Prinsip saling membantu dan meminjam tanpa bunga dapat disalahgunakan dengan menambahkan persyaratan atau bunga tersembunyi. Tekanan sosial untuk membantu sesama dan rasa malu untuk menolak bantuan, dapat dieksploitasi oleh pemberi pinjaman untuk menetapkan suku bunga yang tinggi.

Penelitian antropologi dan sosiologi mengenai dinamika sosial di pedesaan sering kali mengungkap bagaimana norma-norma sosial tradisional dimanipulasi untuk tujuan ekonomi tertentu. Ketergantungan sosial antar individu di lingkungan yang erat dapat menciptakan situasi di mana penolakan pinjaman, meskipun dengan bunga tinggi, akan dianggap sebagai tindakan yang melanggar norma sosial dan merusak hubungan baik. Ketidakmampuan untuk menolak pinjaman tersebut karena tekanan sosial yang kuat memperburuk masalah riba nasi ah.

3. Ketidaktahuan Hukum dan Rendahnya Penegakan Hukum

Ketidaktahuan masyarakat tentang hukum yang mengatur tentang riba, termasuk ketentuan hukum pidana dan perdata, turut berperan dalam meluasnya praktik riba nasi ah. Kurangnya pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam transaksi keuangan menyebabkan masyarakat rentan terhadap eksploitasi. Selain itu, lemahnya penegakan hukum juga memungkinkan praktik riba ini terus berlangsung.

Laporan dari berbagai lembaga hukum dan pemberitaan media seringkali menunjukkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat tentang peraturan terkait pinjaman dan bunga. Kesulitan dalam membuktikan adanya praktik riba dan minimnya tindakan represif dari aparat penegak hukum membuat pelaku merasa aman untuk beroperasi. Hal ini membutuhkan upaya edukasi dan sosialisasi hukum yang intensif, serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menindak kejahatan ekonomi seperti riba.

BACA JUGA:   Riba: Mengupas Arti Ziyadah dalam Perspektif Bahasa Arab dan Hukum Islam

4. Faktor Kemiskinan dan Ketidaksetaraan Ekonomi

Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi menciptakan kondisi yang subur bagi praktik riba nasi ah. Ketika masyarakat kekurangan akses terhadap modal dan sumber daya, mereka terpaksa meminjam uang dengan suku bunga yang tinggi, meskipun mereka sadar bahwa itu adalah riba. Desakan kebutuhan mendesak, seperti biaya pengobatan, pendidikan, atau kebutuhan hidup sehari-hari, membuat mereka rela menerima risiko tersebut.

Data statistik kemiskinan dan indeks Gini dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi yang signifikan di Indonesia. Kesenjangan ini menyebabkan sebagian besar populasi rentan terhadap eksploitasi ekonomi, termasuk riba nasi ah. Studi-studi ekonomi juga menunjukkan hubungan antara kemiskinan, ketidaksetaraan, dan akses ke layanan keuangan formal. Masyarakat miskin lebih bergantung pada pembiayaan informal yang berisiko tinggi, karena terhalang oleh berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.

5. Kurangnya Alternatif Pembiayaan yang Tepat Sasaran

Kurangnya program pembiayaan alternatif yang tepat sasaran dan mudah diakses oleh masyarakat berpenghasilan rendah semakin memperparah masalah. Program-program pemerintah yang ada seringkali terhambat oleh birokrasi yang rumit, kurangnya sosialisasi yang efektif, dan kurangnya pengawasan. Akibatnya, masyarakat tetap bergantung pada pembiayaan informal yang berisiko tinggi.

Evaluasi program-program pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menunjukkan adanya celah dalam menjangkau kelompok rentan. Program-program mikrofinansi yang ada belum sepenuhnya mampu menggantikan peran pembiayaan informal, sehingga riba nasi ah tetap menjadi pilihan bagi banyak orang. Perlunya inovasi dan strategi yang lebih terarah untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil dan mengembangkan program yang lebih responsif terhadap kebutuhan mereka.

6. Peran Teknologi Informasi yang Belum Optimal

Ironisnya, meskipun teknologi informasi berkembang pesat, perannya dalam memerangi riba nasi ah belum optimal. Platform-platform digital yang seharusnya dapat memperluas akses ke layanan keuangan formal, juga dapat dimanfaatkan untuk praktik riba secara online. Kurangnya pengawasan dan regulasi di ruang digital menciptakan peluang bagi praktik riba untuk berkembang lebih luas dan terselubung.

BACA JUGA:   Hukum Riba dalam Islam: Pandangan Ulama dan Dampaknya

Perkembangan fintech (financial technology) yang pesat menjanjikan akses keuangan yang lebih luas, namun juga menyimpan potensi risiko. Penggunaan aplikasi pinjaman online yang tidak terdaftar dan diawasi dengan baik dapat menyebabkan masyarakat terperangkap dalam jerat riba. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang efektif terhadap platform digital untuk mencegahnya menjadi wadah bagi praktik riba nasi ah. Pendidikan literasi digital dan keuangan juga penting untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap risiko-risiko yang ada.

Also Read

Bagikan: