Riba: Akar Ketimpangan Sosial dan Dampaknya yang Merajalela

Dina Yonada

Riba: Akar Ketimpangan Sosial dan Dampaknya yang Merajalela
Riba: Akar Ketimpangan Sosial dan Dampaknya yang Merajalela

Riba, dalam konteks ekonomi Islam, merujuk pada bunga atau keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang tanpa adanya usaha riil yang menyertainya. Praktik ini, meskipun umum di sistem ekonomi konvensional, memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, khususnya dalam memperparah ketimpangan sosial. Ketimpangan ini terjadi melalui berbagai mekanisme yang saling terkait, menciptakan siklus kemiskinan dan memperkaya segelintir orang. Berikut beberapa penjelasan detail mengenai bagaimana riba berkontribusi pada ketimpangan sosial:

1. Konsentrasi Kekayaan di Tangan Segolongan Kecil

Salah satu dampak paling nyata dari sistem riba adalah konsentrasi kekayaan di tangan segolongan kecil masyarakat. Individu atau lembaga keuangan yang memberikan pinjaman dengan bunga akan terus menerus mendapatkan keuntungan, terlepas dari keberhasilan usaha yang dibiayai. Semakin besar pinjaman yang diberikan, semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Hal ini menciptakan sistem di mana kekayaan terus mengalir ke atas, dari mereka yang membutuhkan pinjaman (seringkali dari kalangan kurang mampu) ke mereka yang memberikan pinjaman (biasanya kelompok kaya dan lembaga keuangan). Studi empiris di berbagai negara menunjukkan korelasi positif antara tingkat bunga yang tinggi dan peningkatan ketimpangan pendapatan. Data dari World Inequality Database, misalnya, menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem keuangan yang didominasi oleh riba cenderung memiliki tingkat ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara dengan sistem keuangan yang lebih berbasis syariah. Ketimpangan ini tidak hanya terlihat dalam angka-angka statistik, tetapi juga terwujud dalam perbedaan akses terhadap sumber daya, pendidikan, dan kesempatan lainnya.

BACA JUGA:   Membongkar Arti Riba dan Hukumnya Menurut Islam: Mengapa Riba Dikategorikan Sebagai Sesuatu yang Haram?

2. Siklus Hutang yang Menjerat

Riba seringkali menciptakan siklus hutang yang sulit diputus. Ketika seseorang meminjam uang dengan bunga tinggi, pembayaran cicilan bulanan dapat menghabiskan sebagian besar pendapatannya. Jika terjadi kondisi tak terduga seperti kehilangan pekerjaan atau sakit, kemampuan membayar cicilan akan semakin berkurang, sehingga menyebabkan hutang menumpuk dan akhirnya terjerat dalam lingkaran setan. Lembaga keuangan, dalam mengejar keuntungan, seringkali menerapkan denda dan biaya tambahan yang semakin memperburuk situasi. Kondisi ini mendorong individu dan keluarga untuk terus bergantung pada pinjaman dengan bunga, memperkuat siklus kemiskinan dan memperluas jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi syariah yang menekankan pada pembagian keuntungan dan kerugian bersama, mengurangi risiko jeratan hutang.

3. Penghambatan Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Riba, dalam jangka panjang, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif. Sistem ekonomi yang didasarkan pada riba lebih cenderung menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Keuntungan yang dihasilkan dari bunga lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat hanya menikmati sedikit manfaat atau bahkan dirugikan. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi berbasis syariah yang menekankan pada investasi riil, peningkatan produksi, dan distribusi kekayaan yang lebih adil. Investasi riil mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan menciptakan lapangan kerja, sedangkan bunga hanya menciptakan kekayaan semu yang tidak berkontribusi pada peningkatan produktivitas secara nyata. Penelitian yang dilakukan oleh sejumlah ekonom menunjukkan bahwa sistem ekonomi berbasis syariah memiliki potensi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

4. Akses Terbatas terhadap Modal dan Peluang Usaha

Ketimpangan akses terhadap modal juga menjadi penyebab utama ketimpangan sosial yang diperparah oleh sistem riba. Individu atau usaha kecil dan menengah (UKM) seringkali kesulitan mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah karena dianggap berisiko tinggi oleh lembaga keuangan konvensional. Hal ini membuat mereka sulit untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan taraf hidupnya. Sementara itu, perusahaan besar dan konglomerat lebih mudah mendapatkan akses kredit dengan bunga rendah, sehingga mereka dapat memperluas usahanya dan memperkuat posisi dominannya di pasar. Ketimpangan akses terhadap modal ini memperburuk ketimpangan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang tidak merata. Sistem pembiayaan syariah yang menekankan pada pembagian risiko dan prinsip keadilan dapat menjadi alternatif yang lebih inklusif untuk mengatasi masalah ini.

BACA JUGA:   Hukum Riba dalam Jual Beli: Panduan Komprehensif berdasarkan Al-Quran dan Hadits

5. Korupsi dan Kolusi

Praktik riba juga dapat memicu korupsi dan kolusi. Sistem pemberian kredit yang tidak transparan dan didominasi oleh kepentingan pribadi dapat membuka peluang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pejabat pemerintahan atau karyawan lembaga keuangan mungkin terlibat dalam pemberian kredit yang tidak adil atau menguntungkan kelompok tertentu. Hal ini memperburuk ketimpangan sosial dan memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi diperlukan untuk mencegah praktik korupsi dan kolusi dalam sistem keuangan, termasuk dalam pemberian kredit. Sistem keuangan syariah, dengan prinsipnya yang transparan dan menjunjung tinggi etika, dapat membantu mengurangi risiko korupsi dan kolusi.

6. Pengaruh Psikologis dan Sosial

Selain dampak ekonomi, riba juga memiliki dampak psikologis dan sosial yang negatif. Individu yang terlilit hutang dengan bunga tinggi seringkali mengalami stres, depresi, dan tekanan mental yang signifikan. Hal ini dapat merusak hubungan sosial dan keluarga, serta memperburuk kualitas hidup. Stigma sosial terhadap mereka yang terjerat hutang juga dapat memperparah kondisi tersebut. Sistem keuangan yang lebih adil dan inklusif, seperti sistem keuangan syariah, dapat membantu mengurangi beban psikologis dan sosial yang ditimbulkan oleh hutang, serta memberikan solusi yang lebih manusiawi bagi mereka yang mengalami kesulitan ekonomi. Penting untuk diperhatikan bahwa dampak riba tidak hanya dirasakan oleh individu yang berhutang, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan ketimpangan sosial dan ketidakstabilan ekonomi.

Melalui penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bagaimana riba dapat menjadi akar dari ketimpangan sosial yang begitu kompleks dan merajalela. Perlu adanya usaha bersama untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, yang mengurangi dampak negatif riba dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi inklusif yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan sistem keuangan syariah, dengan prinsip-prinsipnya yang menekankan pada keadilan, transparansi, dan pembagian risiko, dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini.

Also Read

Bagikan: