Praktik riba, yang dilarang tegas dalam ajaran Islam, telah memicu munculnya berbagai istilah dan mekanisme keuangan yang bertujuan untuk mengelabui larangan tersebut. Meskipun upaya untuk menghindari riba patut diapresiasi, banyak di antara “pengganti” riba ini yang sebenarnya hanya penyamaran semu, berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan melanggar prinsip-prinsip dasar ekonomi syariah. Artikel ini akan mengupas beberapa istilah dan mekanisme yang sering digunakan sebagai pengganti riba, mengkaji validitas syar’i-nya, dan menganalisis implikasinya bagi transparansi dan keadilan dalam sistem keuangan Islam.
1. Margin dan Biaya Administrasi yang Berlebih
Salah satu praktik yang paling umum adalah pemungutan margin atau biaya administrasi yang berlebihan atas pinjaman. Lembaga keuangan seringkali menyembunyikan unsur riba di balik biaya-biaya ini, menjadikan angka persentase yang tercantum tampak lebih rendah dari suku bunga konvensional. Meskipun secara nominal bukan bunga, jika besaran biaya ini sebanding atau melebihi keuntungan yang seharusnya diperoleh oleh pemberi pinjaman, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai riba terselubung.
Contohnya, sebuah lembaga keuangan menawarkan pembiayaan dengan margin 5% ditambah biaya administrasi 2% dan biaya provisi 1%. Secara keseluruhan, peminjam menanggung biaya 8%, yang secara efektif setara dengan suku bunga riba konvensional. Ketiadaan transparansi dalam penghitungan dan pengungkapan biaya-biaya ini membuat peminjam sulit untuk membedakan antara biaya yang sah dan unsur riba yang tersembunyi. Hal ini melanggar prinsip keadilan dan transparansi dalam ekonomi syariah, di mana semua biaya harus dijelaskan secara jelas dan adil. Penelitian dari berbagai universitas Islam dan lembaga keuangan syariah menunjukkan peningkatan kesadaran tentang hal ini, tetapi masih banyak praktik yang meragukan. Kejelasan dalam perjanjian dan audit yang ketat diperlukan untuk mencegah praktik ini.
2. Murabahah dengan Mark-up yang Tidak Wajar
Murabahah, yang merupakan penjualan barang dengan penetapan harga pokok ditambah keuntungan, merupakan instrumen pembiayaan yang populer dalam keuangan Islam. Namun, praktik murabahah seringkali disalahgunakan dengan menetapkan mark-up yang tidak wajar dan berlebihan. Mark-up yang terlalu tinggi dapat dianggap sebagai riba terselubung, karena keuntungan yang diperoleh oleh penjual jauh melampaui keuntungan yang wajar dan proporsional.
Determinasi harga pokok barang dalam murabahah juga menjadi isu krusial. Jika harga pokok barang digelembungkan, maka mark-up yang ditambahkan akan mencakup unsur riba. Oleh karena itu, transparansi dan kejelasan dalam penentuan harga pokok sangat penting untuk memastikan keadilan dan ketaatan pada prinsip syariah. Lembaga pengawasan syariah perlu lebih ketat dalam mengawasi penetapan harga pokok dan mark-up dalam transaksi murabahah untuk mencegah manipulasi dan penyalahgunaan. Studi empiris menunjukkan banyak transaksi murabahah yang tidak memenuhi standar syariah, disebabkan oleh kurangnya transparansi dan pengawasan yang ketat.
3. Ijarah muntahiya bit tamlik (IMT) dengan periode sewa yang tidak realistis
IMT adalah skema pembiayaan di mana pemberi pinjaman menyewakan aset kepada peminjam dengan opsi untuk membeli aset tersebut pada akhir masa sewa. Namun, IMT dapat disalahgunakan jika periode sewa ditetapkan terlalu lama atau harga pembelian pada akhir masa sewa terlalu tinggi. Hal ini dapat membuat skema IMT menjadi mirip dengan pembiayaan riba konvensional.
Periode sewa yang tidak realistis dan harga pembelian yang tinggi secara efektif akan memperlakukan transaksi ini sebagai pinjaman berbunga. Hal ini bertentangan dengan prinsip syariah yang mengharuskan transparansi dan keadilan dalam transaksi keuangan. Lembaga pengawasan syariah perlu menetapkan pedoman yang jelas mengenai durasi sewa dan harga pembelian dalam transaksi IMT untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan ketaatan pada prinsip-prinsip syariah. Penelitian yang mendalam tentang penerapan IMT di berbagai negara menunjukkan keragaman praktik dan perlu adanya standarisasi yang lebih ketat untuk mencegah munculnya riba terselubung.
4. Salam dan Istishna dengan manipulasi harga dan waktu penyerahan
Salam (pembelian barang yang belum ada) dan Istishna (pemesanan barang yang akan diproduksi) adalah dua kontrak jual beli yang sah dalam syariah. Namun, praktik penyalahgunaan kedua kontrak ini juga marak terjadi. Manipulasi harga dan waktu penyerahan dapat mengubah kedua kontrak ini menjadi sarana untuk meraih keuntungan yang tidak adil, mirip dengan riba.
Dalam transaksi salam, jika harga yang disepakati jauh lebih tinggi daripada harga pasar pada saat penyerahan barang, maka unsur riba dapat muncul. Begitu pula dalam istishna, jika waktu penyerahan barang ditunda terlalu lama dan harga yang disepakati jauh lebih tinggi daripada harga pasar pada saat penyerahan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai riba. Kejelasan dan kesepakatan yang transparan mengenai harga dan waktu penyerahan sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kedua kontrak ini. Penggunaan mekanisme escrow atau pihak ketiga yang independen untuk memastikan kesesuaian harga dan waktu penyerahan juga dapat menjadi solusi. Penelitian tentang best practice dalam transaksi salam dan istishna terus berkembang, guna meminimalisir potensi riba terselubung.
5. Penggunaan istilah-istilah yang ambigu dan tidak jelas
Praktik yang sering digunakan untuk menyembunyikan riba adalah penggunaan istilah-istilah yang ambigu dan tidak jelas dalam perjanjian pembiayaan. Istilah-istilah ini sengaja dibuat untuk mengaburkan unsur riba yang terkandung di dalamnya. Kurangnya transparansi dan pemahaman yang mendalam tentang istilah-istilah tersebut dapat membuat peminjam sulit untuk mengetahui besaran biaya yang sebenarnya harus mereka tanggung.
Contohnya, penggunaan istilah seperti “biaya pengelolaan”, “biaya administrasi tambahan”, atau “premi risiko” yang tidak dijelaskan secara rinci dalam perjanjian. Istilah-istilah ini dapat digunakan untuk menyembunyikan besaran biaya yang sebenarnya merupakan bunga terselubung. Standarisasi terminologi dan peningkatan literasi keuangan syariah di kalangan peminjam sangat penting untuk mencegah praktik ini. Regulasi yang ketat dan pengawasan yang efektif juga diperlukan untuk menjamin transparansi dan keadilan dalam transaksi keuangan syariah. Penelitian di bidang hukum ekonomi syariah menunjukkan perlunya revisi regulasi untuk mengatasi masalah terminologi yang ambigu ini.
6. Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif
Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang efektif terhadap praktik riba terselubung merupakan faktor utama yang memungkinkan praktik ini tetap berlangsung. Lembaga pengawasan syariah dan otoritas terkait perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik keuangan yang melanggar prinsip-prinsip syariah. Hal ini termasuk meningkatkan kapasitas lembaga pengawasan syariah, memperkuat sistem pelaporan dan investigasi, serta memberikan sanksi yang tegas kepada lembaga keuangan yang melanggar aturan.
Peningkatan literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat juga sangat penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip syariah dan cara membedakan antara transaksi yang sah dan yang melanggar syariah. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih aktif dalam mengawasi dan melaporkan praktik riba terselubung. Kerjasama yang erat antara lembaga pengawasan syariah, pemerintah, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan sistem keuangan syariah yang transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Penelitian dan pengembangan kebijakan yang berkelanjutan perlu dilakukan untuk terus menyempurnakan sistem pengawasan dan penegakan hukum.