Hukum Hutang Piutang Berbasis Riba dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif

Dina Yonada

Hukum Hutang Piutang Berbasis Riba dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif
Hukum Hutang Piutang Berbasis Riba dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif

Hutang piutang merupakan transaksi ekonomi yang lazim terjadi dalam kehidupan masyarakat. Namun, praktik hutang piutang seringkali diwarnai dengan penambahan biaya atau bunga yang dikenal sebagai riba. Permasalahan ini memunculkan perdebatan panjang, khususnya dalam konteks hukum Islam dan hukum positif di berbagai negara. Artikel ini akan membahas secara detail hukum hutang piutang yang disertai tambahan atau sistem riba, dengan mengacu pada berbagai sumber dan perspektif.

Riba dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Dalam Islam, riba diharamkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas riba tersebar di beberapa surah, misalnya Surah Al-Baqarah ayat 275-279, Surah An-Nisa ayat 160-161, dan Surah Ar-Rum ayat 39. Ayat-ayat tersebut dengan jelas menyatakan larangan praktik riba dan ancaman bagi pelakunya. Secara umum, ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa riba merupakan tindakan yang menindas dan merugikan pihak yang berhutang.

Hadits Nabi Muhammad SAW juga banyak mengutuk dan melarang praktik riba. Rasulullah SAW bahkan menyebut riba sebagai suatu dosa besar yang dapat menghancurkan manusia. Beberapa hadits menjelaskan berbagai bentuk riba, mulai dari riba dalam transaksi jual beli hingga riba dalam bentuk pinjaman uang dengan tambahan. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi riba, dan dua saksi dalam transaksi riba. Ketegasan ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang masalah riba. Pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits ini menjadi landasan utama bagi para ulama dalam menetapkan hukum riba.

BACA JUGA:   Manfaat Jurnal Hutang Bank: Meningkatkan Efisiensi Bisnis Anda

Definisi Riba dan Jenis-Jenisnya dalam Hukum Islam

Para ulama fikih telah mendefinisikan riba secara beragam, namun inti dari definisi tersebut adalah penambahan sesuatu yang tidak ada dalam akad awal. Secara sederhana, riba adalah tambahan yang dibebankan pada pinjaman uang atau barang sejenis, tanpa adanya dasar yang syar’i. Hal ini berbeda dengan tambahan yang disepakati secara jelas dan proporsional sebagai imbalan jasa, seperti bagi hasil (profit sharing) atau ujroh (upah).

Riba dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya:

  • Riba al-Fadl: Riba yang terjadi dalam transaksi tukar-menukar barang sejenis (misalnya, gandum dengan gandum, atau emas dengan emas) dengan jumlah dan kualitas yang berbeda. Misalnya, menukar 1 kg gandum dengan 1,2 kg gandum. Hal ini diharamkan karena ada unsur penambahan yang tidak dibenarkan.

  • Riba al-Nasiah: Riba yang terjadi dalam transaksi jual beli dengan penangguhan pembayaran (kredit). Misalnya, menjual barang dengan harga lebih tinggi jika pembayarannya ditunda. Penambahan harga ini dianggap sebagai riba jika tidak didasarkan pada biaya administrasi atau risiko yang wajar.

  • Riba jahiliyyah: Riba yang telah ada sejak zaman jahiliyyah, merupakan bentuk riba yang paling umum dan mencakup berbagai jenis praktik riba yang merugikan.

Riba dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengatur tentang bunga bank. Meskipun istilah "riba" tidak secara eksplisit digunakan, namun aturan tentang bunga bank ini memiliki kesamaan dan perbedaan dengan larangan riba dalam Islam. Sistem perbankan konvensional di Indonesia umumnya menerapkan sistem bunga tetap atau bunga mengambang yang dibebankan pada pinjaman. Hal ini diperbolehkan dalam hukum positif Indonesia, namun menimbulkan perdebatan etis dan agama bagi sebagian masyarakat muslim.

BACA JUGA:   Kata Kata Nagih Hutang Bahasa Sunda

Perlu diingat, hukum positif Indonesia tidak secara langsung melarang praktik yang dianggap riba dalam Islam. Namun, adanya lembaga keuangan syariah yang menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam menunjukkan adanya ruang untuk alternatif sistem keuangan yang menghindari praktik riba. Lembaga keuangan syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, bukan bunga, sehingga menghindari unsur riba.

Perbedaan Riba dan Bagi Hasil dalam Transaksi Keuangan

Perbedaan mendasar antara riba dan bagi hasil terletak pada prinsip dasar transaksinya. Riba didasarkan pada jumlah pinjaman pokok yang telah disepakati, sedangkan bagi hasil didasarkan pada keuntungan atau kerugian yang didapatkan dari usaha bersama. Dalam sistem bagi hasil, kedua belah pihak menanggung risiko dan berbagi keuntungan secara proporsional. Jika usaha rugi, maka kedua belah pihak sama-sama menanggung kerugian. Keuntungan ini dibagi berdasarkan kesepakatan awal. Ini berbeda dengan sistem riba di mana penerima pinjaman tetap wajib membayar bunga terlepas dari keuntungan atau kerugian yang didapatkan dari penggunaan pinjaman tersebut.

Mekanisme Pembiayaan Syariah sebagai Alternatif Riba

Sistem pembiayaan syariah menawarkan alternatif yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dalam mengatasi kebutuhan akan pembiayaan tanpa melibatkan riba. Beberapa mekanisme pembiayaan syariah yang populer antara lain:

  • Mudharabah: Kerjasama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib). Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

  • Musyarakah: Kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih, dengan pembagian keuntungan dan kerugian sesuai dengan porsi modal yang disetor.

  • Murabahah: Jual beli dengan menyebutkan harga pokok barang dan keuntungan yang disepakati. Transaksi ini transparan dan tidak melibatkan unsur penambahan yang tidak jelas.

  • Ijarah: Sewa-menyewa aset, baik aset bergerak maupun tidak bergerak. Pembayaran sewa bersifat tetap dan tidak mengandung unsur riba.

BACA JUGA:   Pengelolaan Hutang Piutang dalam Perspektif Hukum Islam: Panduan Komprehensif

Sistem pembiayaan syariah ini memberikan solusi bagi individu dan lembaga yang ingin memperoleh pembiayaan tanpa melanggar prinsip-prinsip agama Islam. Keberadaan lembaga keuangan syariah semakin memperkuat opsi ini bagi masyarakat yang menginginkan alternatif keuangan yang berlandaskan syariat.

Konsekuensi Hukum dan Etika Penerapan Riba

Penerapan riba memiliki konsekuensi hukum dan etika yang beragam. Dalam konteks hukum Islam, riba dihukumi haram dan pelakunya mendapat ancaman dosa. Meskipun dalam hukum positif Indonesia belum ada sanksi pidana langsung terkait riba dalam transaksi umum, namun praktik riba yang bersifat eksploitatif dan melanggar hukum lainnya dapat dikenakan sanksi.

Dari segi etika, penerapan riba dapat dinilai sebagai tindakan yang tidak adil dan merugikan, khususnya bagi pihak yang berhutang. Riba dapat menciptakan siklus hutang yang sulit diputus dan memperparah kondisi ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang kurang mampu. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran etis dalam menjalankan transaksi keuangan, agar tidak merugikan pihak lain dan bertentangan dengan nilai-nilai keadilan. Penerapan sistem keuangan syariah dapat menjadi solusi untuk menghindari hal ini.

Also Read

Bagikan: