Riba, dalam pandangan Islam, merupakan praktik yang sangat diharamkan. Namun, kompleksitas kehidupan modern seringkali menghadirkan situasi yang tampak abu-abu, di mana transaksi keuangan melibatkan unsur-unsur yang menyerupai riba, tetapi dilakukan atas dasar "suka sama suka" oleh kedua belah pihak. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah riba yang dilakukan atas dasar suka sama suka tetap haram? Jawabannya, secara tegas, tetaplah haram, terlepas dari persetujuan kedua pihak. Berikut penjelasan detailnya yang didukung oleh referensi dari berbagai sumber.
1. Definisi Riba dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah
Sebelum membahas kasus riba yang dilakukan atas dasar suka sama suka, penting untuk memahami definisi riba itu sendiri dalam Islam. Al-Quran secara eksplisit mengharamkan riba dalam beberapa ayat, seperti QS. Al-Baqarah (2): 275 dan QS. An-Nisa (4): 160. Ayat-ayat tersebut secara umum melarang penambahan (ziyadah) pada transaksi jual beli yang bersifat riba.
Sunnah Nabi Muhammad SAW juga memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai jenis-jenis riba yang diharamkan. Hadis-hadis Nabi SAW menjelaskan secara rinci tentang riba dalam bentuk uang (riba al-faish) dan riba dalam bentuk barang (riba al-fadhl). Riba al-faish merujuk pada penambahan bunga atau keuntungan yang disepakati di muka pada transaksi pinjaman uang, sedangkan riba al-fadhl berkaitan dengan pertukaran barang sejenis yang jumlah atau kualitasnya berbeda.
Penting untuk dicatat bahwa larangan riba dalam Islam bukan semata-mata larangan ekonomi, tetapi juga merupakan larangan etis dan moral yang bertujuan untuk melindungi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Riba dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan ketidakadilan, karena menguntungkan satu pihak sementara merugikan pihak lain.
2. "Suka Sama Suka" Bukan Pembenar Riba
Argumentasi "suka sama suka" sering digunakan untuk membenarkan praktik yang sebenarnya merupakan riba. Namun, persetujuan kedua belah pihak tidak cukup untuk menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah SWT. Prinsip ini berlaku secara umum dalam hukum Islam, bukan hanya dalam konteks riba. Sesuatu yang haram tetaplah haram meskipun dilakukan dengan persetujuan bersama.
Sebagai contoh, jika dua orang sepakat untuk melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, persetujuan tersebut tidak akan membenarkan tindakan kriminal tersebut. Analogi ini berlaku pula pada transaksi riba. Meskipun kedua belah pihak setuju dengan persyaratan yang mengandung unsur riba, hal itu tidak akan mengubah status haramnya transaksi tersebut.
3. Konsekuensi Hukum Melakukan Riba Walaupun Suka Sama Suka
Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, riba tetap memiliki konsekuensi hukum dalam Islam. Konsekuensi ini tidak hanya terbatas pada aspek duniawi, tetapi juga mencakup aspek ukhrawi. Secara duniawi, transaksi riba dianggap batal dan tidak sah secara hukum Islam. Kedua pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut berkewajiban untuk mengembalikan uang atau barang yang telah ditransaksikan dengan menghapus unsur riba yang terkandung di dalamnya.
Dari sisi akhirat, melakukan riba termasuk dosa besar yang dapat menyebabkan murka Allah SWT. Hadis-hadis Nabi SAW menggambarkan betapa kerasnya ancaman terhadap pelaku riba. Oleh karena itu, persetujuan "suka sama suka" tidak dapat melindungi seseorang dari konsekuensi dosa yang ditimbulkan oleh praktik riba.
4. Contoh Transaksi yang Sering Disalahartikan sebagai "Suka Sama Suka"
Banyak transaksi keuangan modern yang tampak "suka sama suka" tetapi sesungguhnya mengandung unsur riba. Contohnya adalah:
- Pinjaman dengan bunga: Meskipun kedua belah pihak (peminjam dan pemberi pinjaman) sepakat dengan persentase bunga, bunga tetap merupakan riba yang diharamkan. Persetujuan tidak menghilangkan sifat haramnya bunga tersebut.
- Jual beli barang dengan harga yang tidak proporsional: Jika terjadi pertukaran barang sejenis (misalnya emas dengan emas) tetapi dengan jumlah atau kualitas yang berbeda secara signifikan, dan perbedaan tersebut melebihi batas yang diijinkan dalam syariat, maka transaksi tersebut termasuk riba al-fadhl. Bahkan jika kedua pihak sepakat dengan transaksi tersebut, tetaplah dianggap haram.
- Investasi dengan imbal hasil yang tidak jelas: Beberapa skema investasi menjanjikan keuntungan yang sangat tinggi tanpa penjelasan yang transparan tentang bagaimana keuntungan tersebut diperoleh. Jika skema tersebut mengandung unsur ketidakpastian dan kemungkinan eksploitasi, maka bisa dikategorikan sebagai riba, meskipun para investor setuju dengan skema tersebut.
5. Perbedaan Persepsi dan Pemahaman Mengenai Riba
Perbedaan pemahaman mengenai riba seringkali menjadi penyebab terjadinya kesalahpahaman. Beberapa orang mungkin beranggapan bahwa selama transaksi tersebut menguntungkan kedua belah pihak, maka hal tersebut dibolehkan. Namun, Islam memandang riba dari perspektif yang lebih luas, yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial. Riba dianggap merusak ekonomi dan menciptakan ketidakadilan, walaupun nampak menguntungkan secara individual. Pemahaman yang benar tentang riba harus didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah, serta penjelasan dari ulama yang berkompeten.
6. Alternatif Transaksi Syariah yang Bebas Riba
Islam menawarkan alternatif transaksi keuangan yang bebas dari riba, yang dikenal sebagai keuangan syariah. Sistem keuangan syariah menekankan prinsip keadilan, transparansi, dan pembagian risiko. Beberapa instrumen keuangan syariah yang dapat digunakan sebagai alternatif untuk transaksi konvensional yang mengandung riba antara lain:
- Murabahah: Transaksi jual beli di mana penjual mengungkapkan biaya pokok barang dan keuntungan yang ditambahkan.
- Mudharabah: Kerjasama usaha di mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain mengelola usaha. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
- Musyarakah: Kerjasama usaha di mana dua pihak atau lebih menginvestasikan modal dan terlibat dalam pengelolaan usaha. Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan.
- Ijarah: Kontrak sewa menyewa.
- Salam: Transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan dibayar dimuka.
Dengan memahami hukum riba dan beralih ke transaksi syariah, kita dapat menghindari praktik yang dilarang dan membangun sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. Persetujuan "suka sama suka" tidaklah cukup untuk membenarkan praktik riba. Keharaman riba tetap berlaku, terlepas dari persetujuan kedua belah pihak yang terlibat.