Larangan riba, praktik pengambilan bunga atau keuntungan berlebihan atas pinjaman uang, merupakan isu yang kompleks dan memiliki interpretasi yang beragam di berbagai agama, termasuk agama Kristen. Meskipun tidak terdapat larangan eksplisit dan tertuang secara langsung dalam Perjanjian Baru seperti dalam Perjanjian Lama, ajaran-ajaran Yesus dan para rasul, serta konteks historis dan sosialnya, memberikan landasan bagi penafsiran etis tentang praktik riba dalam kehidupan Kristen. Pemahaman yang beragam muncul karena perbedaan interpretasi ayat-ayat Alkitab, konteks historis, dan perkembangan teologi sepanjang sejarah. Artikel ini akan membahas berbagai perspektif tersebut secara detail.
1. Perjanjian Lama sebagai Dasar Etika Keuangan Kristen
Perjanjian Lama secara tegas melarang praktik riba. Kitab Imamat 25:35-37 menyatakan, "Janganlah kamu menindas sesamamu, atau meminjamkan uang dengan bunga, atau mengambil keuntungan dari sesuatu yang sudah kujanjikan kepadamu. Akulah TUHAN. Janganlah kamu menindas sesamamu atau meminjamkan uang dengan bunga kepadanya, atau barang makanan untuk dimakan, untuk mendapatkan keuntungan darinya." Ayat-ayat serupa juga terdapat dalam kitab Keluaran 22:25, Ulangan 23:19-20, dan Yesaya 24:2. Larangan ini bertujuan melindungi kaum miskin dan rentan dari eksploitasi ekonomi. Peminjaman uang dengan bunga pada masa itu seringkali menjadi alat penindasan bagi mereka yang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup.
Namun, penting untuk diingat bahwa konteks Perjanjian Lama berbeda dengan konteks modern. Bentuk "riba" yang dilarang dalam Perjanjian Lama seringkali terkait dengan praktik eksploitasi yang menindas, bukan hanya sekadar pengenaan bunga. Beberapa ahli teologi berpendapat bahwa larangan ini lebih berfokus pada penindasan sosial ekonomi daripada sekadar transaksi keuangan. Mereka membedakan antara bunga yang eksploitatif dan bunga yang wajar sebagai imbalan atas risiko dan investasi.
2. Perjanjian Baru dan Penerapan Etika Keadilan Sosial
Perjanjian Baru tidak mengulangi larangan riba secara eksplisit seperti dalam Perjanjian Lama. Namun, ajaran Yesus tentang keadilan, kasih, dan kepedulian terhadap yang lemah memberikan landasan etis yang kuat untuk menentang praktik riba yang eksploitatif. Yesus menekankan pentingnya berbagi, membantu sesama, dan menghindari keserakahan (Lukas 6:35; Matius 6:19-21). Prinsip-prinsip ini dapat diinterpretasikan sebagai dasar untuk menolak praktik keuangan yang merugikan orang lain demi keuntungan pribadi yang berlebihan.
Para rasul juga menekankan pentingnya hidup jujur dan adil dalam segala hal (Efesus 4:25; 1 Tesalonika 4:6). Mereka mengajarkan pentingnya menghindari penipuan dan eksploitasi, nilai-nilai yang jelas bertentangan dengan praktik riba yang menindas. Meskipun tidak terdapat larangan langsung, ajaran-ajaran Perjanjian Baru memberikan kerangka moral yang mendorong kehidupan ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
3. Interpretasi Teologis yang Beragam
Interpretasi larangan riba dalam agama Kristen sangat beragam, mencerminkan kerumitan isu ini. Beberapa aliran gereja dan teolog menafsirkan larangan Perjanjian Lama secara literal dan menolak segala bentuk pengenaan bunga, bahkan dalam transaksi yang wajar. Mereka berpendapat bahwa prinsip keadilan sosial harus diutamakan di atas keuntungan finansial.
Di sisi lain, banyak teolog dan gereja modern berpendapat bahwa larangan tersebut lebih berkaitan dengan praktik riba yang eksploitatif dan menindas, bukan pada pengenaan bunga secara umum. Mereka membedakan antara bunga yang merupakan kompensasi yang wajar atas risiko dan investasi, dengan bunga yang berlebihan dan bertujuan untuk mengeksploitasi orang lain. Dalam konteks ini, pentingnya transparansi, kesepakatan yang adil, dan perlindungan terhadap yang lemah menjadi pertimbangan utama.
4. Perkembangan Teologi dan Konteks Sosial Ekonomi
Interpretasi larangan riba dalam agama Kristen juga berkembang seiring dengan perkembangan teologi dan konteks sosial ekonomi. Pada masa awal Kristen, ekonomi bersifat sederhana, dan pinjaman uang seringkali dilakukan di antara individu tanpa lembaga keuangan formal. Konteks ini berbeda jauh dengan sistem keuangan modern yang kompleks, dengan lembaga-lembaga keuangan dan instrumen investasi yang beragam.
Perkembangan ekonomi modern telah memunculkan berbagai instrumen keuangan yang kompleks, termasuk bunga atas pinjaman, investasi, dan berbagai produk keuangan lainnya. Hal ini telah menimbulkan tantangan bagi penafsiran larangan riba dalam konteks modern. Beberapa teolog berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika Kristen harus diadaptasi dan diterapkan dalam konteks ekonomi modern yang kompleks, dengan mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan perlindungan terhadap yang lemah.
5. Praktik Gereja dan Lembaga Keuangan Kristen
Beberapa gereja dan lembaga keuangan Kristen telah mengadopsi praktik-praktik yang mencerminkan penolakan terhadap riba yang eksploitatif. Mereka menawarkan layanan keuangan yang adil dan terjangkau bagi masyarakat yang kurang mampu, menghindari praktik-praktik yang merugikan atau eksploitatif. Contohnya, beberapa lembaga keuangan Kristen memberikan pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga yang sangat rendah bagi kelompok-kelompok yang membutuhkan. Mereka menekankan pentingnya kemitraan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, daripada semata-mata mengejar keuntungan finansial.
Namun, perlu diakui bahwa tidak semua gereja dan lembaga keuangan Kristen mengadopsi praktik-praktik tersebut secara konsisten. Beberapa masih terlibat dalam kegiatan keuangan yang mungkin dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan etika Kristen dalam bidang keuangan masih menjadi tantangan yang kompleks dan membutuhkan refleksi serta komitmen yang berkelanjutan.
6. Tantangan Modern dan Refleksi Etis Berkelanjutan
Tantangan modern dalam menerapkan larangan riba dalam konteks agama Kristen meliputi kompleksitas sistem keuangan modern, globalisasi, dan ketidaksetaraan ekonomi. Praktik riba yang eksploitatif masih terjadi di berbagai belahan dunia, menyebabkan penderitaan bagi banyak orang. Oleh karena itu, refleksi etis yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan sosial dan kasih diterapkan dalam segala aspek kehidupan ekonomi, termasuk sistem keuangan.
Penting untuk membangun sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan, yang memperhatikan kebutuhan orang miskin dan rentan, serta menghindari praktik-praktik yang merugikan mereka. Hal ini membutuhkan kerjasama antara gereja, lembaga keuangan Kristen, dan aktor-aktor lain dalam masyarakat untuk mempromosikan keuangan yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kesejahteraan bersama. Mencari keseimbangan antara prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dan komitmen pada keadilan sosial merupakan tantangan yang terus dihadapi oleh umat Kristen hingga kini.