Riba, dalam konteks Islam, merujuk pada pengambilan keuntungan yang berlebihan atau tidak adil dari suatu transaksi keuangan. Dalam sistem perbankan konvensional, keberadaan riba menjadi perdebatan panjang yang melibatkan aspek hukum, ekonomi, dan etika. Artikel ini akan mengupas letak riba dalam sistem tersebut dengan merujuk pada berbagai sumber dan perspektif, menguak praktik-praktik yang dianggap sebagai bentuk riba dan implikasinya.
1. Bunga Bank sebagai Inti Permasalahan Riba
Bunga bank merupakan inti permasalahan riba dalam sistem perbankan konvensional. Bunga ini merupakan imbalan yang diberikan kepada pihak pemberi pinjaman (bank) atas penggunaan dana yang dipinjam oleh pihak peminjam. Dari perspektif Islam, bunga bank ini dianggap sebagai riba karena mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan keuntungan yang tidak adil (riba). Ketidakpastian muncul karena profitabilitas pinjaman ditentukan di muka, terlepas dari kinerja atau risiko yang sebenarnya. Sementara itu, ketidakadilannya terletak pada pemberian keuntungan yang tetap kepada bank tanpa memperhatikan kontribusi riil mereka dalam proyek yang dibiayai. Bank memperoleh keuntungan hanya dari peminjaman uang, bukan dari usaha atau kerja keras dalam menghasilkan produk atau jasa.
Berbagai mazhab dalam Islam memiliki pandangan yang relatif seragam tentang keharaman riba ini. Al-Quran sendiri secara tegas melarang riba dalam beberapa ayat, misalnya Surah Al-Baqarah ayat 275: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kena sihir sentuhan setan. Yang demikian itu, karena mereka berkata, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga banyak yang mengutuk praktik riba dan menekankan larangannya.
Lebih lanjut, bunga bank seringkali dikaitkan dengan sistem pembayaran berbasis waktu, bukan berbasis kinerja atau resiko. Pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan tetap terlepas dari keberhasilan proyek yang dibiayai. Jika proyek gagal, peminjam tetap berkewajiban membayar bunga, memperburuk kondisi keuangan mereka dan memperkuat ketidakadilan sistem.
2. Mekanisme Pinjaman dan Pembiayaan: Sebuah Studi Kasus
Praktik pinjaman dan pembiayaan dalam bank konvensional umumnya melibatkan penentuan suku bunga tetap atau mengambang yang dihitung berdasarkan saldo pinjaman selama periode tertentu. Mekanisme ini secara inheren mengandung unsur riba karena peminjam membayar imbalan (bunga) atas penggunaan modal, meskipun tidak ada jaminan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan modal tersebut. Ini berbeda dengan transaksi jual beli yang sah dalam Islam, di mana keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Sebagai contoh, sebuah pinjaman perumahan dengan suku bunga tetap 8% per tahun, akan menghasilkan keuntungan bagi bank terlepas dari apakah peminjam berhasil atau gagal dalam usahanya. Bank tetap mendapatkan pendapatan dari bunga, sedangkan risiko kerugian ditanggung sepenuhnya oleh peminjam. Inilah yang dianggap sebagai bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam perspektif Islam.
Perlu juga diperhatikan bahwa beberapa produk bank konvensional, meskipun tampak berbeda, tetap mengandung unsur riba terselubung. Produk-produk seperti kartu kredit, dengan suku bunganya yang tinggi, merupakan contoh yang nyata. Biaya keterlambatan pembayaran atau penalti lainnya juga dapat dianggap sebagai bentuk riba tambahan.
3. Peran Sistem Moneter Internasional dan Inflasi
Sistem moneter internasional yang didominasi oleh negara-negara maju juga memiliki peran dalam memperkuat keberadaan riba dalam sistem perbankan konvensional. Sistem ini seringkali menekankan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi dan utang. Dengan demikian, sistem perbankan konvensional didorong untuk memberikan pinjaman secara besar-besaran, memperkuat peran bunga sebagai pendorong utama profitabilitas.
Inflasi juga berperan dalam melemahkan daya beli uang, sehingga bunga bank berfungsi sebagai alat untuk melindungi nilai uang dari dampak inflasi. Namun, dalam pandangan Islam, inflasi harus diatasi melalui mekanisme ekonomi yang adil dan tidak dengan cara mengenakan bunga yang dianggap sebagai riba.
4. Perbandingan dengan Sistem Perbankan Syariah: Sebuah Kontras
Sistem perbankan syariah menawarkan alternatif yang menghindari riba dengan mengganti mekanisme bunga dengan prinsip bagi hasil (profit sharing) atau mudharabah, dan jual beli (murabahah). Dalam mudharabah, misalnya, bank berbagi keuntungan dengan pengusaha berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan di awal, sedangkan kerugian ditanggung bersama. Dalam murabahah, bank membeli suatu barang dan kemudian menjualnya kepada peminjam dengan harga yang disepakati, dengan keuntungan yang transparan dan disetujui bersama. Sistem ini menghindari eksploitasi dan ketidakpastian yang terkait dengan riba.
Perbedaan mendasar antara perbankan konvensional dan syariah terletak pada prinsip dasar yang mendasari operasinya. Perbankan konvensional didasarkan pada pengumpulan bunga, sementara perbankan syariah didasarkan pada prinsip keadilan, kepastian, dan berbagi keuntungan dan kerugian.
5. Dampak Sosial dan Ekonomi Riba
Keberadaan riba dalam sistem perbankan konvensional memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Dari sisi sosial, riba dapat menyebabkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial, khususnya bagi mereka yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya keuangan. Mereka mungkin terjebak dalam siklus hutang yang sulit diputus karena tingginya suku bunga dan biaya lainnya.
Dari sisi ekonomi, riba dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Fokus pada keuntungan jangka pendek melalui bunga dapat menghambat investasi jangka panjang yang berorientasi pada produktivitas dan pembangunan berkelanjutan. Sistem riba juga dapat meningkatkan spekulasi dan volatilitas pasar keuangan, yang dapat menyebabkan krisis ekonomi.
6. Pro dan Kontra Pendapat Mengenai Riba dalam Sistem Perbankan Konvensional
Perdebatan tentang riba dalam sistem perbankan konvensional tetap berlangsung hingga saat ini. Pihak yang mendukung sistem konvensional seringkali berargumen bahwa bunga merupakan insentif yang diperlukan untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka juga berpendapat bahwa bunga merupakan mekanisme yang efisien untuk mengalokasikan modal dan mengendalikan risiko.
Di sisi lain, pihak yang menentang riba berpendapat bahwa sistem tersebut tidak adil, eksploitatif, dan bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Mereka menekankan pentingnya sistem keuangan yang berkelanjutan dan berkeadilan sosial, serta mendesak adopsi sistem perbankan syariah sebagai alternatif. Perbedaan pendapat ini mencerminkan kompleksitas isu riba dan pentingnya analisis yang komprehensif dan multiperspektif. Perlu juga dipertimbangkan bahwa dampak riba akan berbeda-beda tergantung pada konteks ekonomi, sosial, dan politik suatu negara.