Riba qardh, atau riba dalam bentuk pinjaman, merupakan salah satu bentuk riba yang diharamkan dalam Islam. Ia berbeda dengan riba jahiliyah yang lebih umum dikenal, yang melibatkan transaksi jual beli dengan penambahan nilai secara langsung. Riba qardh lebih halus dan tersembunyi, seringkali tercampur dalam praktik keuangan modern yang kompleks. Mengenali bentuk-bentuk riba qardh ini sangat penting bagi umat muslim untuk menjalankan transaksi sesuai syariat Islam. Artikel ini akan membahas beberapa contoh riba qardh yang sering terjadi, dengan analisis detail dan referensi dari berbagai sumber keislaman. Tidak ada “nomor” spesifik yang dapat menjawab pertanyaan “contoh riba qardh terdapat pada nomor” karena identifikasinya bergantung pada konteks transaksi yang spesifik. Namun, kita akan menelaah beberapa skenario untuk mengilustrasikan konsep ini.
1. Pinjaman dengan Bunga Tertentu (Fixed Interest Rate)
Salah satu bentuk riba qardh yang paling umum adalah pinjaman dengan bunga tetap (fixed interest rate). Dalam sistem konvensional, pinjaman ini biasanya melibatkan kesepakatan antara peminjam dan pemberi pinjaman di mana peminjam wajib membayar sejumlah bunga tetap setiap periode (misalnya, bulanan atau tahunan) di atas pokok pinjaman. Bunga ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pokok pinjaman. Hal ini jelas merupakan riba qardh karena adanya tambahan pembayaran yang tidak didasarkan pada keuntungan atau kerugian bersama.
Sebagai contoh, seseorang meminjam Rp 100 juta dari bank dengan suku bunga 10% per tahun. Setiap tahun, peminjam harus membayar Rp 10 juta sebagai bunga, terlepas dari apakah usahanya untung atau rugi. Keuntungan bank sudah pasti, sementara risiko kerugian ditanggung sepenuhnya oleh peminjam. Inilah yang membedakannya dari prinsip bagi hasil (profit sharing) dalam sistem keuangan Islam. Sumber-sumber fiqh Islam secara konsisten mengharamkan praktik ini karena unsur tambahan (ziadah) yang telah disepakati di awal tanpa memperhatikan kinerja usaha atau kondisi peminjam. (Lihat: Risalah Fiqh Muamalah, karya Yusuf Qardhawi; Ensiklopedi Hukum Islam, Departemen Agama RI).
2. Pinjaman dengan Biaya Administrasi yang Ekstrem
Meskipun terkadang disamarkan dengan istilah "biaya administrasi", "biaya provisi", atau sejenisnya, beberapa lembaga keuangan menerapkan biaya administrasi yang sangat tinggi pada pinjaman. Jika biaya ini tidak proporsional terhadap jasa yang diberikan dan dibebankan secara tetap, tanpa mempertimbangkan keberhasilan usaha peminjam, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai riba qardh.
Bayangkan sebuah perusahaan pembiayaan menerapkan biaya administrasi 5% dari jumlah pinjaman, di samping bunga yang sudah ditetapkan. Biaya ini tetap dibebankan meskipun peminjam membayar pinjaman tepat waktu dan usahanya berjalan lancar. Dalam hal ini, biaya administrasi yang besar tersebut sebenarnya merupakan tambahan pembayaran yang menyerupai bunga dan termasuk riba qardh. Para ulama berbeda pendapat tentang batasan “proporsionalitas” biaya administrasi, namun kesepakatan umumnya adalah bahwa biaya tersebut harus wajar dan mencerminkan jasa riil yang diberikan oleh lembaga pembiayaan, bukan sebagai sumber pendapatan tambahan yang pasti.
3. Penambahan Biaya Keterlambatan (Denda) yang Tinggi
Biaya keterlambatan (denda) juga perlu diperhatikan. Dalam sistem konvensional, denda keterlambatan seringkali dibebankan secara tetap dan tinggi, tanpa mempertimbangkan kemampuan peminjam atau kondisi ekonomi yang mungkin dialaminya. Jika denda ini bersifat tetap dan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita pemberi pinjaman karena keterlambatan tersebut, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai riba qardh.
Contohnya, sebuah perusahaan leasing mengenakan denda keterlambatan sebesar 1% dari jumlah cicilan yang tertunggak setiap hari. Denda ini tetap dibebankan terlepas dari alasan keterlambatan. Jika denda ini terlalu tinggi dan tidak mencerminkan kerugian riil pemberi pinjaman, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk riba qardh karena merupakan tambahan biaya yang tidak proporsional. Prinsip keadilan dan keseimbangan dalam Islam harus menjadi pedoman dalam menentukan besaran denda keterlambatan.
4. Kartu Kredit dengan Bunga (Interest)
Penggunaan kartu kredit dengan bunga juga merupakan bentuk riba qardh yang perlu diwaspadai. Meskipun terkadang disajikan sebagai biaya layanan atau biaya keterlambatan, namun pada hakikatnya, bunga yang dikenakan pada saldo kartu kredit yang belum terbayarkan merupakan tambahan pembayaran yang dibebankan atas pinjaman yang telah diberikan. Hal ini jelas melanggar prinsip syariat Islam.
Banyak lembaga keuangan menggunakan metode perhitungan bunga majemuk (compound interest) pada kartu kredit, yang semakin memperbesar jumlah bunga yang harus dibayar. Sistem ini semakin memperberat beban peminjam dan menunjukkan ketidakadilan dalam perjanjian keuangan. Oleh karena itu, penggunaan kartu kredit yang melibatkan bunga harus dihindari oleh umat muslim.
5. Sistem Pinjaman Online dengan Bunga Tinggi
Maraknya pinjaman online (pinjol) dengan bunga yang sangat tinggi juga perlu diwaspadai. Banyak aplikasi pinjol mengenakan bunga yang jauh melebihi batas kewajaran, seringkali disertai dengan biaya administrasi dan denda yang memberatkan. Sistem ini sangat rentan terhadap riba qardh karena unsur tambahan yang besar dan tidak proporsional. Penting untuk memeriksa secara teliti suku bunga dan biaya-biaya lain sebelum mengambil pinjaman online agar tidak terjerat dalam riba. Para ulama menekankan pentingnya kewaspadaan dan menghindari pinjol yang menerapkan sistem bunga dan denda yang tidak adil.
6. Investasi dengan Janji Keuntungan Tertentu (Fixed Return)
Meskipun bukan pinjaman secara langsung, investasi dengan janji keuntungan tertentu (fixed return) juga dapat dikategorikan sebagai riba qardh jika tidak ada unsur bagi hasil (profit sharing) atau pembagian risiko yang seimbang. Contohnya, skema investasi yang menjanjikan return tetap 10% per tahun tanpa mempertimbangkan kinerja investasi sebenarnya dapat termasuk riba qardh karena unsur keuntungan yang pasti dan dijamin tanpa memperhatikan risiko. Investasi syariah menekankan prinsip bagi hasil (profit sharing) dan pembagian risiko antara investor dan pengelola investasi.
Perlu diingat bahwa analisis mengenai riba qardh memerlukan pemahaman mendalam tentang fiqh muamalah dan konteks transaksi yang spesifik. Konsultasi dengan ulama atau ahli fiqh sangat dianjurkan untuk memastikan kepatuhan terhadap syariat Islam dalam setiap transaksi keuangan. Artikel ini hanya memberikan gambaran umum dan beberapa contoh, bukan panduan hukum yang definitif.