Perbankan syariah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, bertujuan untuk menghindari riba (bunga). Namun, dalam praktiknya, beberapa produk dan layanan perbankan syariah terkadang menuai kritik karena dinilai mengandung unsur-unsur yang menyerupai riba atau setidaknya rentan terhadapnya. Keberadaan celah ini disebabkan oleh kompleksitas penerapan prinsip syariah dalam sistem keuangan modern yang dinamis. Artikel ini akan membahas beberapa contoh praktik perbankan syariah yang diperdebatkan dan dinilai mengandung unsur-unsur riba, disertai analisis kritis dari berbagai sumber.
1. Margin Berlebih dalam Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah salah satu akad pembiayaan yang paling umum digunakan dalam perbankan syariah. Dalam akad ini, bank membeli barang terlebih dahulu dari pihak ketiga, lalu menjualnya kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi (harga beli ditambah margin keuntungan). Secara prinsip, ini sah dalam Islam selama margin keuntungan yang dikenakan transparan dan wajar.
Namun, permasalahan muncul ketika margin yang dikenakan oleh bank dinilai terlalu tinggi atau tidak mencerminkan biaya riil yang dikeluarkan oleh bank. Beberapa kritikus berpendapat bahwa margin yang berlebihan, terutama bila tidak disertai transparansi yang memadai mengenai perhitungan biaya, dapat dianggap sebagai bentuk terselubung dari riba. Bank seringkali menggabungkan berbagai biaya (administrasi, penjaminan, dll.) ke dalam margin, membuat perhitungan biaya sebenarnya menjadi sulit dipahami bagi nasabah. Ketidakjelasan ini dapat membuka peluang untuk praktik yang kurang etis dan mengarah pada margin yang tidak proporsional, mendekati sistem bunga konvensional. Beberapa studi kasus menunjukkan perbedaan signifikan antara margin yang dikenakan oleh bank syariah yang berbeda, mengindikasikan adanya potensi manipulasi dalam penetapan margin. Ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan dalam Islam, tetapi juga merugikan nasabah.