Agama Hindu, dengan beragam kitab suci dan interpretasinya, tidak memiliki larangan eksplisit terhadap "riba" sebagaimana yang dipahami dalam konteks agama-agama Abrahamik. Namun, konsep keadilan, kejujuran, dan keseimbangan ekonomi yang mendalam dalam ajaran Hindu memunculkan interpretasi dan pandangan yang kompleks mengenai praktik keuangan yang mirip dengan riba. Alih-alih larangan langsung, pendekatan Hindu lebih menekankan pada etika dan dharma (kewajiban moral) dalam transaksi keuangan. Pemahaman ini membutuhkan pengkajian berbagai sumber dan perspektif.
Dharma dan Keadilan dalam Transaksi Keuangan
Dasar filsafat Hindu yang relevan dengan isu riba adalah konsep dharma. Dharma tidak hanya berarti "kebenaran" atau "kebaikan", tetapi juga mencakup kewajiban dan tanggung jawab moral individu dalam masyarakat. Dalam konteks transaksi keuangan, dharma menuntut kejujuran, keadilan, dan keseimbangan dalam hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman. Praktik yang mengeksploitasi kebutuhan seseorang untuk keuntungan pribadi dianggap bertentangan dengan dharma. Kitab suci Hindu tidak secara eksplisit menyebutkan angka persentase bunga yang diizinkan atau dilarang, tetapi menekankan pada prinsip etis dalam setiap transaksi. Ketidakadilan dan eksploitasi yang dihasilkan dari praktik bunga yang berlebihan jelas bertentangan dengan prinsip dharma ini.
Arthashastra dan Perspektif Ekonomi Tradisional
Arthashastra, karya Kautilya (Chanakya), sebuah risalah politik dan ekonomi klasik dari zaman Maurya, memberikan wawasan mengenai praktik keuangan pada masa itu. Walaupun Arthashastra tidak membahas riba secara langsung dengan istilah modern, ia membahas berbagai jenis pinjaman dan bunga, termasuk pinjaman dengan jaminan dan tanpa jaminan. Teks ini juga membahas regulasi pemerintah dalam hal bunga dan praktik perdagangan yang adil. Interpretasi modern dari Arthashastra menunjukkan bahwa, meskipun bunga diizinkan, bunga yang berlebihan dan eksploitatif dianggap tidak etis dan dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial. Fokus utama Arthashastra terletak pada kesejahteraan ekonomi negara dan masyarakat, yang memerlukan pengaturan yang adil dalam sistem keuangan.
Pengaruh Veda dan Upanishad
Veda dan Upanishad, teks-teks suci Hindu yang tertua, tidak secara spesifik membahas praktik perbankan modern atau bunga. Namun, prinsip-prinsip moral yang terkandung di dalamnya, seperti Ahimsa (ketidakberbahayaan), Satya (kejujuran), dan Brahmacharya (hidup suci), dapat diterapkan pada transaksi keuangan. Sebuah pinjaman yang diberikan dengan niat jahat atau dengan tujuan eksploitasi akan bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Sikap yang adil dan berempati dalam memberikan dan menerima pinjaman dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan dharma. Penerapan prinsip-prinsip ini secara luas dalam praktik perbankan modern dapat membantu menghindari praktik yang mirip dengan riba.
Bhagavad Gita dan Konsep Karma
Bhagavad Gita menekankan konsep karma, hukum sebab-akibat. Setiap tindakan, termasuk transaksi keuangan, memiliki konsekuensi. Mencari keuntungan yang tidak adil melalui bunga yang berlebihan akan menghasilkan karma negatif, yang akan berdampak buruk pada kehidupan pemberi pinjaman di masa mendatang. Sebaliknya, memberikan pinjaman dengan niat tulus dan adil akan menghasilkan karma positif. Prinsip ini mendorong individu Hindu untuk bertindak dengan moralitas dan keadilan dalam semua tindakan mereka, termasuk transaksi keuangan. Konsep karma ini berfungsi sebagai mekanisme pengendalian diri dan mendorong praktik keuangan yang etis.
Interpretasi Modern dan Praktik Kontemporer
Di era modern, beberapa komunitas Hindu telah mengadopsi berbagai interpretasi mengenai bunga dan pinjaman. Beberapa kelompok menekankan pada menghindari bunga yang berlebihan, khususnya jika hal tersebut mengakibatkan penderitaan bagi peminjam. Di sisi lain, sebagian komunitas Hindu lain menganggap bunga sebagai bagian yang sah dari sistem ekonomi, asalkan transaksi tersebut dilakukan dengan adil dan transparan. Praktik mikro-kredit dan lembaga keuangan berbasis komunitas yang menekankan pada kesejahteraan bersama dan pembangunan berkelanjutan semakin banyak dijumpai, menunjukkan sebuah upaya untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip dharma dalam sistem keuangan modern. Perbedaan interpretasi ini mencerminkan kompleksitas penerapan ajaran agama Hindu pada konteks ekonomi modern yang dinamis.
Kesimpulan Alternatif: Etika dan Keseimbangan sebagai Pedoman
Tidak ada larangan eksplisit terhadap riba dalam agama Hindu. Namun, prinsip dharma, keadilan, dan keseimbangan ekonomi secara konsisten ditekankan dalam berbagai sumber Hindu. Praktik keuangan yang eksploitatif, yang mengutamakan keuntungan pribadi di atas kesejahteraan bersama, bertentangan dengan ajaran Hindu. Penerapan prinsip-prinsip etis dalam transaksi keuangan, seperti kejujuran, empati, dan transparansi, merupakan hal yang penting untuk memastikan agar praktik keuangan selaras dengan ajaran Hindu. Fokus pada kesejahteraan bersama dan menghindari eksploitasi merupakan pedoman utama dalam menginterpretasikan prinsip-prinsip ini dalam konteks keuangan modern.