Pandangan Kristen Terhadap Riba: Sebuah Kajian Mendalam atas Perjanjian Lama dan Baru

Dina Yonada

Pandangan Kristen Terhadap Riba: Sebuah Kajian Mendalam atas Perjanjian Lama dan Baru
Pandangan Kristen Terhadap Riba: Sebuah Kajian Mendalam atas Perjanjian Lama dan Baru

Riba, praktik meminjamkan uang dengan bunga, merupakan isu yang kompleks dan telah memicu perdebatan selama berabad-abad, termasuk di kalangan umat Kristen. Persepsi terhadap riba dalam agama Kristen tidaklah seragam dan seringkali menimbulkan interpretasi yang beragam, bergantung pada pemahaman teks Alkitab, konteks historis, serta perkembangan teologi sepanjang masa. Artikel ini akan menelusuri berbagai pandangan tersebut secara detail, mengkaji sumber-sumber Alkitabiah, tradisi gereja, dan perkembangan pemikiran teologis modern mengenai larangan riba dalam agama Kristen.

1. Larangan Riba dalam Perjanjian Lama: Sebuah Pandangan Hukum Yahudi

Perjanjian Lama secara tegas melarang praktik riba dalam beberapa pasal. Kitab Keluaran 22:25, misalnya, menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kepada sesamamu, orang miskin di antara bangsamu, janganlah berlaku sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah mengenakan bunga kepadanya." Larangan serupa juga terdapat dalam Ulangan 23:19-20; Imamat 25:36-37; dan Yesaya 24:2. Larangan ini berakar pada konteks sosial masyarakat Israel kuno yang agraris dan menekankan solidaritas sosial. Tujuannya adalah melindungi kaum miskin dan rentan dari eksploitasi ekonomi. Orang kaya tidak boleh mengambil keuntungan dari kesulitan keuangan orang miskin dengan mengenakan bunga yang memberatkan.

Penting untuk dicatat bahwa larangan ini terutama ditujukan kepada hubungan antar sesama Israel. Hukum ini tidak berlaku untuk transaksi dengan orang asing (non-Israel). Ini menunjukkan bahwa larangan tersebut lebih berdimensi etis dan sosial daripada sekadar larangan ekonomi universal. Para ahli tafsir Alkitab mencatat bahwa larangan ini terintegrasi dengan hukum-hukum lainnya yang bertujuan untuk melindungi kaum miskin dan memastikan keadilan sosial dalam masyarakat Israel.

BACA JUGA:   Perbedaan Riba Yad dan Nasiah dalam Perspektif Hukum Islam dan Ekonomi

2. Interpretasi Larangan Riba dalam Konteks Historis

Memahami larangan riba dalam Perjanjian Lama memerlukan pemahaman konteks historisnya. Sistem ekonomi pada waktu itu sangat berbeda dengan sistem ekonomi modern. Tidak ada lembaga keuangan formal seperti bank, dan pinjaman biasanya dilakukan antar individu. Pinjaman seringkali merupakan kebutuhan vital bagi survival, bukan sekadar untuk investasi atau spekulasi. Oleh karena itu, mengenakan bunga dalam konteks tersebut dapat dianggap sebagai tindakan eksploitatif yang tidak manusiawi.

Perlu dibedakan juga antara "riba" (bahasa Ibrani: neshek) yang dilarang dengan "bunga" (dalam artian modern). Neshek merujuk pada praktik penambahan bunga yang berlebihan dan eksploitatif, yang bertujuan untuk merugikan peminjam dan memperkaya pemberi pinjaman. Konsep ini berbeda dengan bunga yang wajar dalam sistem ekonomi modern yang berbasis pada prinsip-prinsip pasar dan kesepakatan yang adil.

3. Perkembangan Teologi Kristen dan Riba

Dalam Perjanjian Baru, tidak ada larangan eksplisit tentang riba seperti dalam Perjanjian Lama. Namun, ajaran Yesus tentang kasih, keadilan, dan belas kasihan seringkali dijadikan dasar untuk mengkritik praktik-praktik ekonomi yang eksploitatif, termasuk riba yang berlebihan. Ajaran Yesus tentang keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat seringkali dianggap relevan dengan permasalahan riba.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan teolog Kristen mengenai interpretasi Perjanjian Baru terkait riba. Beberapa teolog berpendapat bahwa semangat kasih dan keadilan dalam Perjanjian Baru menuntut penolakan atas segala bentuk riba, terlepas dari besarannya. Mereka melihat bahwa sistem ekonomi yang didasarkan pada profit maximation dapat bertentangan dengan nilai-nilai Kristen.

Teolog lainnya berpendapat bahwa larangan riba dalam Perjanjian Lama tidak berlaku secara mutlak dalam konteks modern. Mereka berargumen bahwa sistem ekonomi modern berbeda secara signifikan dari sistem ekonomi zaman Perjanjian Lama, dan bahwa bunga dalam jumlah wajar dapat diterima selama tidak eksploitatif dan berkeadilan. Mereka menekankan pentingnya kesepakatan yang adil dan transparan antara pemberi pinjaman dan peminjam.

BACA JUGA:   Memahami Riba Al Fadl: Jenis Riba yang Perlu Dihindari dalam Islam

4. Praktik Gereja dan Pemikiran Teologis Modern

Sepanjang sejarah Gereja, telah terjadi berbagai praktik dan pandangan yang beragam terkait riba. Beberapa aliran gereja, terutama dalam tradisi Katolik dan Protestan tertentu, telah menganut interpretasi yang lebih ketat terhadap larangan riba, bahkan melarang segala bentuk bunga. Aliran lainnya lebih lunak dan membedakan antara bunga yang eksploitatif dan bunga yang wajar.

Pemikiran teologis modern menunjukkan kecenderungan untuk menekankan konteks etis dan sosial daripada pendekatan hukum yang kaku. Fokusnya bergeser dari sekadar menanyakan apakah riba itu "dibolehkan" atau tidak, menjadi menanyakan apakah praktik tersebut adil, transparan, dan konsisten dengan nilai-nilai Kristen tentang keadilan dan kasih. Pertanyaan-pertanyaan etis mengenai akses terhadap modal, distribusi kekayaan, dan tanggung jawab sosial menjadi sorotan utama.

5. Riba dalam Sistem Ekonomi Modern dan Tanggung Jawab Sosial

Dalam sistem ekonomi modern, bunga merupakan bagian integral dari mekanisme pasar. Bank dan lembaga keuangan mengandalkan bunga sebagai sumber pendapatan untuk menjalankan operasinya. Namun, penting untuk menyadari potensi eksploitasi yang ada dalam sistem tersebut. Pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi (rentenir) masih merupakan masalah yang signifikan di banyak bagian dunia, dan hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Kristen.

Gereja-gereja modern seringkali menaruh perhatian pada isu-isu seperti akses yang adil terhadap kredit, menghindari praktik peminjaman yang eksploitatif, dan mendorong investasi yang bertanggung jawab secara sosial. Banyak gereja terlibat dalam program-program mikro-kredit dan lembaga keuangan alternatif yang bertujuan untuk memberikan akses keuangan kepada masyarakat miskin dengan suku bunga yang terjangkau dan adil.

6. Kesimpulan dari Perdebatan: Etika dan Keadilan dalam Peminjaman

Perdebatan mengenai riba dalam agama Kristen menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek etis dan sosial dalam segala praktik ekonomi. Meskipun tidak ada larangan eksplisit mengenai riba dalam Perjanjian Baru, semangat kasih, keadilan, dan belas kasihan yang diajarkan Yesus tetap menjadi pedoman utama dalam mengevaluasi praktik-praktik ekonomi. Fokusnya bukan hanya pada kepatuhan terhadap hukum tertulis, melainkan pada kepatuhan terhadap hukum kasih dan keadilan. Praktik peminjaman yang adil dan transparan, yang mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan peminjam, merupakan kunci dalam menerapkan nilai-nilai Kristen dalam kehidupan ekonomi. Gereja modern terus berperan aktif dalam mendorong praktik-praktik keuangan yang bertanggung jawab dan etis, selaras dengan ajaran-ajaran dasar iman Kristen.

Also Read

Bagikan: