Riba, dalam konteks Alkitab Kristen, adalah isu yang kompleks yang telah diinterpretasikan secara berbeda sepanjang sejarah. Pemahaman yang lengkap memerlukan pengkajian mendalam terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta memperhatikan konteks historis dan sosial saat ayat-ayat tersebut ditulis. Artikel ini akan mengeksplorasi berbagai aspek pemahaman riba dalam Alkitab, menghindari kesimpulan definitif untuk memungkinkan pembaca membentuk pemahaman mereka sendiri berdasarkan studi yang diuraikan.
1. Larangan Riba dalam Perjanjian Lama
Perjanjian Lama secara tegas melarang pemberian riba kepada sesama Israel. Ayat-ayat kunci yang sering dikutip termasuk Ulangan 23:19-20, Imamat 25:36-37, dan Keluaran 22:25. Ayat-ayat ini secara konsisten menentang praktik meminjamkan uang dengan bunga kepada orang Israel yang miskin atau membutuhkan.
Larangan ini dilatarbelakangi oleh sistem sosial dan ekonomi Israel kuno yang berbeda dengan sistem ekonomi modern. Israel pada masa itu adalah masyarakat agraris dengan ekonomi yang sebagian besar bersifat barter. Uang berperan kecil dalam kehidupan sehari-hari, dan pinjaman umumnya berkaitan dengan kebutuhan mendesak seperti bencana alam atau kesulitan panen. Memberikan bunga dalam situasi demikian dianggap sebagai eksploitasi dan ketidakpedulian terhadap sesama.
Penting untuk diperhatikan bahwa larangan ini khususnya ditujukan untuk sesama orang Israel. Alkitab tidak melarang memberikan pinjaman dengan bunga kepada orang asing (non-Israel). Ini menunjukkan bahwa larangan riba dalam Perjanjian Lama didasarkan pada prinsip keadilan sosial dan persaudaraan dalam komunitas Israel.
Beberapa interpretasi modern berpendapat bahwa larangan ini menargetkan praktik eksploitatif yang umum terjadi pada zaman itu, bukan prinsip pemberian bunga secara umum. Mereka mengartikulasikan bahwa fokus utama adalah perlindungan orang miskin dan mencegah perbudakan oleh hutang.
2. Perbedaan Interpretasi "Neshek"
Kata Ibrani yang sering diterjemahkan sebagai "riba" adalah "neshek." Namun, pengertian "neshek" itu sendiri tidak selalu berarti "bunga" dalam arti modern. Beberapa sarjana berpendapat bahwa "neshek" merujuk pada praktik peminjaman yang eksploitatif, seperti menagih bunga yang sangat tinggi atau memaksa jaminan yang tidak proporsional. Hal ini mengarah pada perbedaan interpretasi mengenai jangkauan larangan tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa larangan "neshek" mencakup semua bentuk bunga, sedangkan lainnya menekankan pada aspek eksploitatifnya. Perbedaan interpretasi ini mempengaruhi bagaimana ajaran Perjanjian Lama mengenai riba diterapkan pada zaman modern.
3. Konteks Sosial-Ekonomi Perjanjian Lama
Memahami larangan riba dalam Perjanjian Lama memerlukan pemahaman konteks sosial-ekonomi pada masa itu. Sistem ekonomi yang berbeda, dengan keterbatasan akses terhadap sumber daya dan kurangnya lembaga keuangan modern, menuntut pendekatan yang berbeda terhadap pinjaman dan hutang. Pinjaman seringkali merupakan masalah hidup atau mati, sehingga eksploitasi melalui bunga tinggi merupakan masalah moral yang serius.
Sistem Yobel dalam Imamat 25 menawarkan sebuah mekanisme untuk memulihkan keadilan ekonomi dengan memberikan penghapusan hutang dan mengembalikan tanah kepada pemilik asalnya secara periodik. Sistem ini menunjukkan bahwa Perjanjian Lama menempatkan penekanan yang besar pada keadilan sosial dan pencegahan eksploitasi ekonomi.
4. Keheningan Perjanjian Baru Mengenai Riba
Berbeda dengan Perjanjian Lama, Perjanjian Baru tidak secara eksplisit melarang riba. Tidak ada ayat yang secara langsung menyatakan larangan pemberian bunga. Keheningan ini telah menyebabkan berbagai interpretasi.
Beberapa berpendapat bahwa keheningan ini menunjukkan bahwa larangan riba dalam Perjanjian Lama tidak lagi berlaku. Lainnya berpendapat bahwa prinsip kasih dan keadilan yang ditegaskan dalam Perjanjian Baru masih menuntut perhatian terhadap praktik peminjaman yang eksploitatif. Mereka berpendapat bahwa prinsip kasih harus menjadi pedoman dalam semua transaksi finansial, termasuk peminjaman uang.
5. Prinsip Kasih dan Keadilan dalam Perspektif Perjanjian Baru
Meskipun Perjanjian Baru tidak membahas secara rinci larangan riba, prinsip kasih dan keadilan yang ditekankan secara kuat di dalamnya dapat memberikan pedoman dalam menghadapi isu ini. Ajaran Yesus tentang mencintai sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39) dan ajaran tentang keadilan (Matius 6:33-34) dapat diinterpretasikan sebagai pedoman dalam transaksi keuangan. Sebuah tindakan meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak adil dan tidak menunjukkan kasih kepada sesama.
Praktek kasih dan keadilan ini harus dipertimbangkan dalam konteks modern. Penting untuk memahami bahwa sistem keuangan modern berbeda secara signifikan dari sistem ekonomi pada zaman Perjanjian Lama. Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip ini membutuhkan pertimbangan yang cermat dan kontekstual.
6. Aplikasi dalam Konteks Modern
Penerapan ajaran Alkitab tentang riba dalam konteks modern merupakan tantangan yang signifikan. Sistem keuangan modern yang kompleks, dengan berbagai jenis instrumen keuangan, membuat penerapan interpretasi literal dari larangan Perjanjian Lama menjadi sulit. Oleh karena itu, banyak orang Kristen mengarahkan fokus pada prinsip-prinsip yang mendasari larangan tersebut, yaitu keadilan dan kasih.
Dalam aplikasi modern, prinsip keadilan dapat diartikan sebagai mempertimbangkan kemampuan debitur untuk mengembalikan pinjaman dengan bunga yang wajar. Praktik bunga yang eksploitatif dan mengarah pada perbudakan hutang harus dihindari. Prinsip kasih mengajak untuk mempertimbangkan kebutuhan debitur dan menghindari praktik yang merugikan mereka. Prinsip ini dapat menjadi dasar etis dalam setiap transaksi keuangan, termasuk peminjaman uang. Hal ini juga menuntut ketelitian dalam mengembangkan kebijakan finansial yang berorientasi pada keadilan sosial.
Semoga uraian di atas memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu riba dalam Alkitab Kristen. Penting untuk diingat bahwa artikel ini bertujuan untuk memaparkan berbagai perspektif dan interpretasi, bukan untuk memberikan kesimpulan yang pasti. Perlu adanya studi dan perenungan pribadi yang mendalam untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip Alkitab dalam konteks kehidupan modern.