Riba, dalam ajaran Islam, merupakan suatu praktik yang diharamkan secara tegas. Larangan ini bukan sekadar aturan ritual, melainkan merupakan prinsip ekonomi-syariah yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi umat. Pemahaman mendalam tentang mengapa riba diharamkan memerlukan penelusuran berbagai aspek, mulai dari perspektif Al-Quran dan Hadits hingga implikasi ekonomi dan sosialnya. Artikel ini akan menguraikan secara detail beberapa alasan utama mengapa riba diharamkan dalam Islam.
1. Pelanggaran Prinsip Keadilan dan Keseimbangan (Mizan)
Salah satu landasan utama haramnya riba adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan keseimbangan (mizan) yang menjadi inti ajaran Islam. Riba, dalam bentuk apapun, menciptakan ketidakseimbangan antara pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan pihak yang menerima pinjaman (debitur). Kreditur memperoleh keuntungan yang tidak sebanding dengan usaha dan risiko yang ditanggungnya, sementara debitur terbebani dengan kewajiban yang memberatkan, bahkan dapat menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran kemiskinan yang berkepanjangan.
Al-Quran secara eksplisit mengutuk praktik riba karena menciptakan ketidakadilan ini. Surat Al-Baqarah ayat 275 misalnya, menjelaskan bagaimana riba dapat melipatgandakan harta orang kaya yang sudah memiliki kelebihan, sementara harta orang miskin yang kekurangan justru akan diambil. Ketidakseimbangan ini bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan persamaan yang dianut oleh Islam. Sistem ekonomi Islam justru bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata, sehingga semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan sejahtera. Riba, dengan mekanisme yang inherently tidak adil, jelas bertentangan dengan tujuan mulia tersebut. Berbagai hadis Nabi Muhammad SAW juga menekankan bahaya riba, menyebutnya sebagai "perbuatan yang keji dan dosa besar". Ini menunjukkan betapa seriusnya larangan riba dalam pandangan Islam.
2. Menimbulkan Eksploitasi dan Penindasan terhadap Kaum Miskin
Praktik riba seringkali dimanfaatkan untuk mengeksploitasi dan menindas kaum miskin. Mereka yang membutuhkan dana mendesak, seringkali terpaksa menerima pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi, meskipun mereka menyadari resiko yang akan dihadapi. Ketidakmampuan mereka untuk membayar pinjaman pada waktunya, akan menyebabkan kerugian yang lebih besar, bahkan dapat menyebabkan mereka kehilangan aset berharga, seperti tanah atau rumah.
Situasi ini memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi. Kaum miskin terperangkap dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus, sementara kelompok kaya semakin kaya dengan memanfaatkan sistem yang tidak adil. Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat menekankan kepedulian terhadap kaum dhuafa dan memerintahkan untuk membantu mereka keluar dari kesulitan. Larangan riba menjadi bagian dari upaya untuk melindungi kaum lemah dan mencegah terjadinya eksploitasi yang sistemik.
3. Merusak Stabilitas Ekonomi dan Menghambat Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan
Riba tidak hanya merusak keadilan sosial, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berbasis riba cenderung rentan terhadap krisis dan ketidakstabilan. Siklus kredit yang didorong oleh pencarian keuntungan maksimal tanpa mempertimbangkan konsekuensinya dapat memicu gelembung ekonomi dan spekulasi yang berlebihan. Ketika gelembung ini pecah, akan terjadi dampak negatif yang luas, termasuk penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi, kehilangan pekerjaan, dan peningkatan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya dapat terwujud dalam sistem yang adil dan berkelanjutan. Riba, dengan sifatnya yang parasit dan ekstraktif, justru menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Sebaliknya, sistem ekonomi Islam yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kerjasama, dan saling berbagi, menawarkan alternatif yang lebih stabil dan berkelanjutan. Sistem ini mendorong investasi produktif, mengurangi spekulasi, dan memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata.
4. Menghilangkan Berkah dan Memperkecil Rezeki
Dalam perspektif spiritual, riba dianggap sebagai penghalang bagi keberkahan dan rezeki. Ajaran Islam mengajarkan bahwa rezeki adalah anugerah dari Allah SWT, dan riba dianggap sebagai perbuatan yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan keberkahan tersebut. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa harta yang diperoleh melalui cara yang tidak halal, tidak akan mendatangkan keberkahan dan ketenangan hati.
Berbagai hadis Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahaya riba dari sudut pandang spiritual ini. Riba dikaitkan dengan kemiskinan, kesulitan hidup, dan bahkan bencana. Oleh karena itu, menghindari riba tidak hanya merupakan kewajiban syariat, melainkan juga merupakan upaya untuk meraih keberkahan dan rezeki yang halal dan berkah dari Allah SWT.
5. Menyimpang dari Tujuan Asli Pinjaman: Membantu Sesama
Tujuan utama pinjaman, dalam perspektif Islam, adalah untuk membantu sesama yang membutuhkan. Pinjaman seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, seperti untuk pengembangan usaha, pendidikan, atau pengobatan. Riba menyimpang dari tujuan mulia ini karena fokus utamanya adalah pada keuntungan finansial semata, tanpa memperhatikan kebutuhan dan kesulitan pihak peminjam.
Sistem ekonomi Islam menawarkan berbagai alternatif yang lebih sesuai dengan etika dan prinsip syariat, seperti mudharabah, musyarakah, dan murabahah. Skema-skema ini didasarkan pada prinsip bagi hasil (profit-sharing) dan kerjasama, sehingga keuntungan dan risiko ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Hal ini lebih adil dan transparan dibandingkan dengan sistem riba yang cenderung menguntungkan satu pihak secara tidak seimbang.
6. Menciptakan Budaya Konsumtif dan Materialistis
Riba seringkali memperkuat budaya konsumtif dan materialistis dalam suatu masyarakat. Kemudahan akses kredit dengan bunga yang rendah, meskipun pada akhirnya merugikan, mendorong orang untuk menghabiskan uang secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk membayarnya kembali. Hal ini dapat berujung pada hutang yang menumpuk dan kesulitan finansial jangka panjang.
Sistem riba, dengan fokusnya pada keuntungan finansial semata, tidak mendorong pola hidup yang bertanggung jawab dan hemat. Sebaliknya, sistem ekonomi Islam dengan prinsip-prinsipnya yang menekankan kesederhanaan, berbagi, dan kepedulian sosial, mendorong terciptanya masyarakat yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan secara ekonomi.
Dengan demikian, larangan riba dalam Islam bukan semata-mata aturan agama yang bersifat ritual, tetapi merupakan bagian integral dari sistem ekonomi syariah yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial, stabilitas ekonomi, dan kesejahteraan umat manusia. Pemahaman yang mendalam terhadap berbagai aspek larangan riba ini sangat penting untuk membangun masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.