Riba: Haram Karena Merusak Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi

Huda Nuri

Riba: Haram Karena Merusak Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi
Riba: Haram Karena Merusak Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi

Riba, atau bunga dalam konteks keuangan modern, merupakan salah satu perbuatan yang diharamkan secara tegas dalam agama Islam. Larangan ini tertuang dalam Al-Quran dan Hadits, menekankan dampak negatifnya terhadap individu, masyarakat, dan ekonomi secara keseluruhan. Keharaman riba bukan sekadar larangan agama belaka, tetapi juga didasari oleh pertimbangan ekonomi, sosial, dan moral yang mendalam. Memahami mengapa riba diharamkan membutuhkan pemahaman yang komprehensif terhadap berbagai perspektif dan sumber rujukan.

1. Kerusakan Ekonomi yang Diciptakan oleh Riba

Salah satu alasan utama diharamkannya riba adalah potensi kerusakan ekonomi yang ditimbulkannya. Sistem riba mendorong ketidakseimbangan ekonomi dan menciptakan siklus kemiskinan. Individu yang terperangkap dalam jeratan riba seringkali kesulitan untuk melunasi hutang mereka, karena bunga yang terus bertambah memperbesar beban kewajiban mereka. Hal ini dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan bahkan kebangkrutan.

Banyak studi ekonomi modern telah menunjukkan korelasi antara tingginya suku bunga dan peningkatan ketimpangan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan internasional, seperti World Bank dan IMF, menunjukkan bahwa sistem keuangan berbasis riba cenderung memperkaya kelompok kecil yang memiliki akses ke modal dan teknologi, sementara kelompok yang kurang mampu tertinggal. Riba memperbesar jurang antara kaya dan miskin, menciptakan ketidakadilan ekonomi yang sistemik. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang mendorong pembagian kekayaan secara adil dan merata melalui mekanisme seperti bagi hasil (profit sharing) dan mudharabah.

Lebih lanjut, sistem riba juga bisa mendorong spekulasi dan penggelembungan aset. Ketika suku bunga rendah, individu dan perusahaan cenderung meminjam lebih banyak uang untuk investasi spekulatif, bukan untuk aktivitas produktif yang menciptakan nilai tambah. Hal ini dapat mengakibatkan gelembung aset yang kemudian meletus, menyebabkan krisis ekonomi yang luas. Krisis keuangan Asia tahun 1997 dan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat tahun 2008 merupakan contoh nyata dari dampak negatif sistem keuangan berbasis riba.

BACA JUGA:   Riba: Mengupas Arti Ziyadah dalam Perspektif Bahasa Arab dan Hukum Islam

2. Aspek Keadilan dan Moral yang Dilanggar Riba

Selain dampak ekonominya, riba juga diharamkan karena melanggar prinsip-prinsip keadilan dan moral dalam Islam. Riba dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terhadap pihak yang lemah. Pihak yang meminjam uang dengan bunga tinggi terikat pada suatu sistem yang secara tidak adil memperkaya pihak pemberi pinjaman. Mereka dipaksa untuk membayar lebih dari yang sebenarnya mereka pinjam, tanpa adanya usaha atau kontribusi nyata dari pihak pemberi pinjaman.

Dalam perspektif Islam, transaksi keuangan haruslah berdasarkan kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan. Riba melanggar prinsip ini karena menguntungkan satu pihak (pemberi pinjaman) sementara merugikan pihak lain (peminjam). Islam menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam transaksi keuangan. Riba justru menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakadilan, bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Konsep ini sejalan dengan pemikiran filosofis dan etika ekonomi yang menekankan pentingnya keadilan distributif. Keadilan distributif merujuk pada keadilan dalam pembagian kekayaan dan sumber daya di masyarakat. Riba, dengan sifatnya yang eksploitatif, secara inheren melanggar prinsip keadilan distributif ini. Sistem ekonomi yang adil seharusnya memastikan akses yang setara terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi bagi semua anggota masyarakat, tanpa memandang kekayaan atau status sosial mereka.

3. Riba Menghambat Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan

Riba juga diyakini menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem riba cenderung fokus pada keuntungan jangka pendek daripada investasi jangka panjang yang produktif. Alih-alih mendorong inovasi dan pengembangan bisnis, riba hanya menghasilkan keuntungan finansial bagi pemberi pinjaman tanpa berkontribusi pada penciptaan nilai tambah yang nyata.

Dalam sistem ekonomi Islam, investasi diarahkan pada aktivitas ekonomi riil yang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem bagi hasil, misalnya, mendorong investor untuk berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan bisnis, sehingga memastikan investasi yang bijak dan berkelanjutan. Sistem ini lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, dibandingkan dengan sistem riba yang cenderung spekulatif dan berorientasi pada keuntungan jangka pendek.

BACA JUGA:   Memahami Konsep Riba dalam Peminjaman Uang, Apakah Meminjam Uang di Bank Termasuk Riba Jahiliyah?

Studi-studi empiris juga menunjukkan bahwa sistem ekonomi berbasis riba memiliki kecenderungan untuk menciptakan siklus boom and bust yang merusak stabilitas ekonomi jangka panjang. Periode pertumbuhan ekonomi yang cepat diikuti oleh penurunan tajam, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan kesengsaraan sosial. Sistem ekonomi Islam, dengan penekanannya pada prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan, bertujuan untuk menghindari siklus tersebut dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan inklusif.

4. Dalil Al-Quran dan Hadits Mengenai Keharaman Riba

Larangan riba tercantum secara eksplisit dalam Al-Quran. Beberapa ayat yang membahas tentang riba antara lain Surah Al-Baqarah ayat 275-278 dan Surah An-Nisa ayat 160-161. Ayat-ayat tersebut menjelaskan secara tegas bahwa riba adalah haram dan Allah SWT melaknat orang yang memakan riba. Tidak hanya melarang, Allah SWT juga mengancam mereka yang terlibat dalam riba dengan siksa yang berat di akhirat.

Selain Al-Quran, Hadits Nabi Muhammad SAW juga banyak menjelaskan tentang keharaman riba dan dampak negatifnya. Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang membayarkannya, saksi riba, dan penulisnya. Hadits-hadits ini menunjukkan betapa seriusnya larangan riba dalam Islam dan betapa pentingnya untuk menghindari segala bentuk transaksi yang mengandung unsur riba. Penjelasan ini sangat rinci sehingga tidak ada celah untuk berinterpretasi lain kecuali larangan mutlak.

Para ulama dan ahli fiqih Islam telah menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits tersebut dengan detail, memberikan definisi yang jelas tentang apa yang termasuk dalam kategori riba dan bagaimana cara menghindarinya. Pemahaman yang mendalam tentang nash (teks Al-Quran dan Hadits) sangat penting untuk menghindari kesalahan interpretasi dan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum syariat.

BACA JUGA:   Riba Fadhl: Memahami Lebih Dalam Jenis Riba yang Terlarang dalam Islam

5. Perbedaan Riba dengan Investasi yang Syariah

Penting untuk membedakan antara riba dan investasi yang syariah. Investasi syariah didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan pembagian keuntungan dan kerugian secara adil. Berbeda dengan riba yang hanya menghasilkan keuntungan bagi pemberi pinjaman tanpa memandang keberhasilan usaha yang didanai, investasi syariah melibatkan pembagian keuntungan atau kerugian berdasarkan kesepakatan yang disetujui bersama antara pemberi dana dan penerima dana.

Contoh investasi syariah yang umum adalah mudharabah (bagi hasil), musyarakah (bagi hasil dan kerja sama), dan murabahah (jual beli dengan keuntungan yang disepakati). Dalam skema-skema ini, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional antara pemberi dana dan penerima dana, yang mendorong transparansi dan keadilan. Hal ini berbeda dengan riba yang hanya menjamin keuntungan bagi pemberi pinjaman, terlepas dari kinerja investasi. Dengan demikian, investasi syariah mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan adil.

Penerapan investasi syariah juga semakin meluas di dunia internasional. Banyak lembaga keuangan kini menawarkan produk dan layanan keuangan syariah, baik untuk individu maupun korporasi. Perkembangan ini menunjukkan minat yang semakin besar terhadap sistem keuangan yang lebih adil dan berkelanjutan, yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam.

6. Dampak Sosial Riba terhadap Masyarakat

Riba tidak hanya memiliki dampak ekonomi negatif, tetapi juga menimbulkan dampak sosial yang merusak. Sistem riba dapat menciptakan budaya konsumerisme dan hedonisme yang berlebihan. Individu cenderung menghabiskan uang secara boros dan terjebak dalam siklus utang yang sulit diputuskan. Hal ini dapat menyebabkan stres, tekanan psikologis, dan bahkan disintegrasi keluarga.

Lebih lanjut, riba dapat mengikis nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang cepat dan mudah dapat menggeser prioritas dari nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kerja keras. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya praktik korupsi dan ketidakpercayaan di antara anggota masyarakat. Sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan, yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah, justru dapat memperkuat nilai-nilai moral dan etika dalam masyarakat.

Dengan demikian, larangan riba dalam Islam bukan sekadar larangan agama belaka, tetapi merupakan pertimbangan yang komprehensif atas dampak negatifnya terhadap ekonomi, keadilan, moral, dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Pemahaman yang mendalam tentang keharaman riba menjadi sangat penting untuk membangun sistem ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan sejahtera.

Also Read

Bagikan: