Riba, dalam terminologi Islam, merujuk pada penambahan nilai yang tidak sah atau keuntungan yang berlebihan dari suatu transaksi pinjaman. Hukumnya haram, tegas dilarang dalam Al-Quran dan Hadits, dan pelarangan ini dilandasi oleh berbagai alasan teologis, ekonomi, dan sosial yang saling berkaitan dan berdampak luas. Pemahaman yang komprehensif tentang mengapa riba haram memerlukan eksplorasi mendalam terhadap berbagai aspek ajaran Islam dan konsekuensi negatifnya bagi individu dan masyarakat.
1. Landasan Al-Quran dan Hadits dalam Pelarangan Riba
Landasan utama pelarangan riba terletak pada Al-Quran dan Hadits. Ayat-ayat Al-Quran yang secara eksplisit melarang riba tersebar di beberapa surah, misalnya Surah Al-Baqarah (2:275-278) yang menjelaskan secara detail tentang keharamannya dan dampak negatifnya. Ayat-ayat tersebut tidak hanya melarang riba secara umum, tetapi juga menjelaskan berbagai jenis dan bentuknya, termasuk riba al-fadl (riba dalam bentuk kelebihan barang) dan riba al-nasi’ah (riba dalam bentuk penundaan pembayaran).
Hadits Nabi Muhammad SAW juga banyak menguatkan pelarangan ini. Beliau melaknat orang yang memakan riba, pemberi riba, penulis riba, dan dua saksi riba. Hadits-hadits tersebut menggambarkan betapa kerasnya larangan riba dalam Islam dan betapa beratnya hukuman bagi yang melakukannya. Ketegasan ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang masalah riba dan betapa pentingnya menghindari praktik tersebut. Bahkan, dalam beberapa hadits, riba disandingkan dengan zina dan pembunuhan, yang menunjukkan betapa besarnya dosa memakan riba di sisi Allah SWT.
2. Riba sebagai Bentuk Kezaliman dan Eksploitasi
Salah satu alasan utama riba diharamkan adalah karena ia merupakan bentuk kezaliman dan eksploitasi. Riba memungkinkan pihak pemberi pinjaman untuk mengambil keuntungan yang tidak sebanding dengan usaha atau resiko yang ditanggung. Pihak yang meminjam uang, seringkali dalam kondisi sulit dan membutuhkan uang secara mendesak, dipaksa untuk menerima persyaratan yang tidak adil dan merugikan. Mereka terbebani dengan bunga yang terus bertambah, dan hal ini dapat menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran hutang yang sulit dilepaskan.
Ini berbeda dengan transaksi jual beli yang sah, di mana kedua belah pihak sepakat atas harga dan barang yang diperdagangkan. Dalam riba, terdapat ketidakseimbangan yang jelas, di mana pihak pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan yang tidak proporsional tanpa memberikan kontribusi yang sepadan. Keadilan dan keseimbangan dalam transaksi ekonomi merupakan prinsip fundamental dalam Islam, dan riba secara langsung melanggar prinsip tersebut. Oleh karena itu, riba dianggap sebagai bentuk kezaliman yang harus dihindari.
3. Dampak Negatif Riba terhadap Perekonomian
Di luar aspek teologis, riba juga memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian. Riba cenderung menyebabkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang kaya, sementara sebagian besar masyarakat terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Bunga yang terus bertambah membuat hutang semakin membengkak, dan hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Riba juga dapat menyebabkan inflasi karena peningkatan biaya produksi dan konsumsi.
Lebih lanjut, sistem ekonomi berbasis riba mendorong spekulasi dan aktivitas ekonomi yang tidak produktif. Alih-alih berfokus pada produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat, orang cenderung lebih tertarik untuk mencari keuntungan dari bunga dan investasi spekulatif. Hal ini dapat menghambat perkembangan sektor riil ekonomi dan mengurangi kesempatan kerja. Sistem ekonomi yang berlandaskan keadilan dan keseimbangan, seperti yang diajarkan Islam, seharusnya lebih menekankan pada produksi dan distribusi kekayaan yang merata.
4. Riba sebagai Penghambat Pertumbuhan Ekonomi Syariah
Munculnya ekonomi syariah sebagai alternatif sistem ekonomi yang bebas dari riba bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi syariah menawarkan mekanisme pembiayaan alternatif, seperti mudarabah, musyarakah, murabahah, dan salam, yang didasarkan pada prinsip keadilan, kejujuran, dan kerja sama. Mekanisme-mekanisme ini menjamin agar setiap pihak dalam transaksi memperoleh keuntungan yang seimbang dan proporsional terhadap kontribusi mereka.
Riba menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi syariah karena sistem tersebut bertentangan secara fundamental dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Keberadaan riba di dalam suatu sistem ekonomi akan menghambat pengembangan dan penerapan produk dan jasa keuangan syariah. Institusi keuangan syariah yang beroperasi dalam lingkungan yang masih didominasi oleh riba akan menghadapi kesulitan dalam bersaing dan mencapai potensinya. Oleh karena itu, penghapusan riba merupakan prasyarat penting untuk perkembangan ekonomi syariah yang berkelanjutan.
5. Riba Memutuskan Silaturahmi dan Menimbulkan Permusuhan
Di luar aspek ekonomi, riba juga dapat merusak hubungan sosial dan silaturahmi. Konflik dan perselisihan seringkali terjadi antara pemberi pinjaman dan peminjam karena masalah bunga dan pembayaran hutang. Hal ini dapat mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara anggota masyarakat. Islam sangat menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan, dan riba dianggap sebagai faktor yang merusak ikatan sosial tersebut.
Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh riba dapat menimbulkan rasa benci dan dendam di antara individu dan kelompok. Ini menyebabkan ketidakstabilan sosial dan mengganggu kedamaian masyarakat. Sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan seharusnya mendorong kerjasama dan solidaritas di antara anggota masyarakat, bukan menciptakan perselisihan dan permusuhan. Oleh karena itu, larangan riba juga merupakan bentuk perlindungan terhadap kerukunan dan keharmonisan sosial.
6. Riba sebagai Pelanggaran terhadap Prinsip Keadilan dan Keseimbangan
Pada akhirnya, pelarangan riba didasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan yang menjadi landasan ajaran Islam. Riba melanggar prinsip keadilan karena menciptakan ketidakseimbangan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Riba juga melanggar prinsip keseimbangan karena menciptakan sistem ekonomi yang tidak adil dan tidak berkelanjutan. Dalam Islam, keadilan dan keseimbangan merupakan nilai-nilai fundamental yang harus dijaga dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi.
Sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan. Riba bertentangan dengan tujuan ini karena ia cenderung menciptakan kesenjangan ekonomi dan memperkuat dominasi kelompok tertentu atas kelompok lainnya. Oleh karena itu, pelarangan riba merupakan manifestasi dari komitmen Islam terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan umat manusia. Penerapan prinsip-prinsip syariah dalam ekonomi diharapkan dapat menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat.